Merindukan Pernikahan - Delapan -

Rayyan POV
Baca Cerita Sebelumnya Merindukan Pernikahan - Tujuh -
Cuaca Surabaya memang sangat panas. Macet dimana - mana. Dan hanya demi memenuhi kemauan mama aku bersedia bergerilya di tengah hiruk - pikuk suasana kota. Ah lebih tepatnya keinginan hatiku sendiri.
Aku tidak akan sanggup memikirkan Abigail bersama lelaki lain. Setidaknya aku ingin berjuang. Dia wanita yang pantas dimuliakan. Bukan hanya dipermainkan dengan segala hubungan tak pasti.
Senyum tipis terbit di wajahku tatkala mengingat betapa dia akan mengomel panjang lebar seharian di depan komputernya. Aku memang tak memberitahu dia mengenai rencanaku ini. Toh ini bukan urusan pekerjaan yang harus aku informasikan kepada asistenku itu. Meski ini ada sangkut pautnya dengan dirinya.
"Kamu sangat mencintainya ya, Ray?", satu pertanyaan mama mengusikku.
Saat ini kami tengah menikmati makan siang di bebek sinjay surabaya. Sambel mangganya benar - benar mampu meningkatkan nafsu makan kami. Tapi bukan itu yang ku pikirkan.
Benarkah aku mencintainya?
"Ray nggak tahu, Ma", jawabku.
"Terus kenapa kamu mau repot - repot begini, Nak?"
Ini bukan hal yang merepotkan mama. Ini hanya sedikit perjuangan dan jelas aku sangat menikmatinya.
"Bukan karena desakan mama agar kamu segera menikah lantas kamu asal milih perempuan kan, Ray?", tanya mama tajam.
Aku tersenyum. Aku cukup memahami kekhawatiran mama. Beliau hanya menginginkan yang terbaik untukku.
"Percayalah, Ma. Dia wanita yang baik. Mama pasti menyukainya", jawabku meyakinkan.
"Mama jadi nggak sabar ketemu calon menantu", ungkap mama.
Lagi - lagi aku hanya bisa tersenyum.
Semua akan ada waktunya, Ma. Tanpa meleset sedikitpun, batinku.
==========
Rumah Abigail sederhana. Tidak ada halaman yang luas. Hanya sedikit area untuk tempat parkir kendaraan. Dia memang tinggal di komplek perumahan.
Tadi aku dan mama memang sudah dari rumah Abigail. Orang tuanya baik. Mereka menerima kedatangan kami secara tiba - tiba dengan ramah.
"Jadi mas Rayyan, ada niatan apa sampeyan kemari?", tanya Pak Ardi, ayah Abigail setelah kami memperkenalkan diri. Sepertinya beliau adalah orang yang tidak suka berbasa - basi.
"Begini, Pak Ardi. Putra saya ini ingin melamar putri bapak untuk menjadi istrinya", ungkap mama. Meski seorang wanita, mama cukup tangguh menghadapi badai demi aku, putranya.
Pak Ardi menatapku dari atas ke bawah. Netranya seperti mesin pemindai tubuh yang seolah mencari cacat dalam diri. Masha Allah. Aku bukan orang yang mudah diintimidasi. Jadi kali inipun aku tidak akan terintimidasi hanya karena tatapan itu.
Meski tanpa tatapan menantang, aku menolak mengalihkan pandanganku dari wajah ayah Abigail. Sepertinya beliau adalah sosok ayah yang tegas. Kini aku tau darimana sikap Abigail yang seolah acuh tapi tetap bertanggung jawab pada pekerjaannya.
"Apa kamu sudah lama mengenal Abi?", tanya Pak Ardi.
"Selama tiga tahun ini kami bekerja sama dalam satu perusahaan, om. Dan ya, saya sudah cukup mengenal Abi", jawabku tegas.
Meski bukan orang yang ingin ku jadikan rekanan di perusahaanku, aku tidak lantas bersikap sembarangan dihadapan beliau. Ini penting, setidaknya beliau harus tahu orang seperti apa yang akan mengambil tugas dan tanggung jawab atas putrinya.
"Berarti kamu sudah tahu kalau Abi tidak suka dipaksa?", tanya beliau sekali lagi.
Lidahku kelu. Aku cukup tahu hal itu. Abigail bukan orang yang mudah menerima keputusan sepihak. Tapi bukankah aku sedang berusaha memintanya baik - baik.
"Iya om", jawabku meneguhkan kembali sikapku.
"Oke kalau begitu. Om akan meminta dia pulang. Akhir pekan silahkan datang kembali untuk mendengar apa yang menjadi keputusannya", jawab Pak Ardi.
Setelahnya tidak ada lagi pembahasan mengenai Abigail. Kami berbicara banyak hal. Bisnis, politik, bahkan tentang masa lalu. Aku tidak ingin ada rahasia apapun.
"Kamu kok nggak bilang sih Ray, kalau wanita yang mau kamu lamar itu ada di Semarang?", omel mama setelah kami sampai di penginapan.
"Memang mama pikir Ray bertemu wanita ini dimana, Ma?" aku tidak bisa tidak gemas dengan pertanyaan mama.
"Maksud mama kalau mama tahu wanita itu di Semarang, mama bisa ketemu dia disana dulu", jelas mama.
"Apa bedanya kalau langsung kemari dan bertemu disini?", aku masih belum mengerti kenapa mama mengeluh hanya karena Abigail juga tinggal di Semarang.
Ya, tadi ayah Abigail tidak memberi keputusan apapun atas lamaranku. Tepatnya beliau tidak berani sebelum bertanya langsung pada yang bersangkutan. Sehingga beliau meminta kami kembali lagi akhir pekan begitu Abigail pulang ke rumahnya.
"Mama kan pengen ketemu wanita yang sudah buat kamu jatuh cinta begini, Ray. Mama penasaran sama wanita itu", jelas mama.
"Nanti juga mama ketemu kan. Sabar saja, Ma", pintaku.
"Semoga ini bisa menjadi yang terakhir ya Nak. Mama hanya berharap kamu bahagia dengan pilihanmu kali ini".
Itu juga yang selalu aku harapkan, Ma. Tidak ada lagi perpisahan. Kali ini aku akan berusaha untuk itu.
"Mama doakan saja ya. Percayalah. Dia bukan wanita seperti kebanyakan. Mama pasti menyukainya. Rayyan bisa jamin".
Aku mencoba meyakinkan mama. Mungkin lebih tepatnya meyakinkan diriku sendiri kalau pilihanku kali ini sudah tepat.
"Hanya kebahagiaanmu satu - satunya prioritas mama saat ini, Ray. Mama bersyukur kalau kamu sudah bisa melupakan mantan istrimu itu dan mau membuka hati untuk wanita ini".
Aku tersenyum kecut. Memang tidak mudah menyingkirkan kenangan yang sudah kami ciptakan dulu. Nyatanya butuh tiga tahun sebelum akhirnya aku bertemu Abigail dan menginginkan pernikahan lagi. Meski aku belum yakin sudah melupakan dia atau tidak.
Setelah perceraian itu, dia tidak pernah pergi. Selalu ada dalam hatiku. Meski aku sempat menyaksikan pernikahan keduanya. Meski aku juga sempat menggendong bayi pertamanya yang sayangnya bukan bayiku. Itu bayinya bersama suami keduanya.
Harusnya aku ikut berbahagia dengan semua itu. Tapi tidak. Aku terlalu kesakitan. Wanita yang aku cintai memilih pergi dan aku tidak punya kekuatan untuk menahannya. Tidak dulu.
Hanya mama satu - satunya yang menyaksikan kehancuranku. Hanya mama yang aku ijinkan melihatku terpuruk. Karena aku tidak pernah mau menampakkan itu pada dunia.
Di mata orang lain mungkin aku hanyalah Rayyan dengan status duda. Beberapa teman mengetahui siapa mantan istriku. Namun di perusahaan tempatku bekerja selama tiga tahun ini tidak ada satupun yang mengenal sosok wanita yang telah menceraikanku. Aku menutupinya.
Masa laluku bukan hal yang menyenangkan untuk terus diingat. Jadi tidak perlu membawanya ke masa kini. Toh dia sudah berbahagia dengan pilihannya sendiri. Setidaknya begitu yang terlihat dari luar. Dan aku sama sekali tidak berminat menggali kehidupan orang lain lebih dalam dari yang terlihat.
Biarlah. Kali ini aku siap melangkah lebih jauh untuk kebahagiaanku sendiri. Semoga masih ada kesempatan untuk itu. Kesempatan untuk kembali berkeluarga. Menikah dan mempunyai bayi - bayi lucu yang sholeh dan sholehah.
Tidak ada yang salah dengan status duda. Katanya aku hanya perlu menyiapkan diri untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Bukankah akan lebih baik jika proses itu dinikmati bersama. Bersama dia yang halal.
Ah Abs, sudah berapa lama kita tidak berjumpa? Sehari? Dua hari? Bahkan ini baru hari ketiga aku menikmati cutiku. Kenapa rasanya sudah lama sekali? Serindu itukah aku padamu?
Sumber Gambar : Pinterest.com, editted by canva
"Jangan lupa untuk mempersiapkan diri dari penolakan juga ya, Nak. Tidak selamanya kita mendapatkan apa yang kita inginkan", pesan mama sebelum beliau menenggelamkan diri di kamar sewaannya yang nyaman.
- To Be Continue -

Love

Yuni Bint Saniro

Blogger wanita yang menyukai dunia menulis sejak SMA. Saat ini masih pemula. Tapi tidak masalah. Kelak ada masanya menjadi profesional. Semangat.

Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama

Artikel Terbaru di Yuni Bint Saniro