Halo, Bestie! Apa kabar? Semoga harimu menyenangkan, ya. Pernah nggak sih, kamu merasa kalau jadi anak sulung tu ibarat jadi pahlawan super tanpa jubah? Aku sering merasa begitu soalnya.
Dari kecil, aku kayak selalu jadi yang pertama disuruh-suruh. Mulai dari "jaga adik," "ngalah sama adek," atau tiba-tiba aja udah harus "terlihat dewasa." Padahal, umur aja masih bau kencur, ya ‘kan?
Aku inget banget, dulu waktu masih kecil, kalau lagi main sama adik terus dia nangis, pasti langsung deh emakku bilang, "Kakak kan udah gede, ngalah dong!" Atau kalau ada masalah kecil di rumah, eh, aku yang dipanggil buat jadi penengah.
Rasanya, label "kuat" tu udah nempel erat di jidatku sejak lahir. Pertanyaannya, kenapa sih anak sulung tu selalu dituntut buat kuat, bahkan ketika kita sendiri rasanya udah mau tumbang?
Kenapa Anak Sulung Dianggap Harus Kuat?
Jujur aja, Bestie, aku sering mikir gini. Mungkin karena pengaruh budaya kita yang cukup kental, ya.
Anak pertama tu sering banget diposisikan sebagai panutan. Kita ini ibarat "anak latihan" bagi orang tua. Jadi, segala ekspektasi, segala coba-coba ilmu parenting, kayaknya tumpah ruah ke kita.
Orang tua berharap kita bisa jadi contoh yang baik buat adik-adik. Mereka melihat kita sebagai "tangan kanan" di rumah, yang bisa diandalkan. Nggak jarang, kita malah jadi jembatan komunikasi antara orang tua dan adik-adik.
Dengan semua kondisi itu, gimana kita nggak dapat pandangan sebagai anak sulung yang kudu selalu strong? Pokoknya mah, nggak boleh kelihatan lemah sama sekali. Apa itu menye-menye?
Anak Sulung adalah Pengambil Keputusan Keluarga
Nah, ini nih yang kadang bikin kaget. Seiring bertambahnya usia, tiba-tiba aja kita sering dimintai pendapat dalam urusan penting rumah tangga.
Mulai dari yang sepele kayak, "Kak, bagusnya adekmu sekolah di mana, ya?" sampai yang lebih serius, "Kak, tolong bantuin Papa liat-liat tabungan buat renovasi rumah, dong." Atau bahkan, "Menurut kamu, enaknya beli kulkas merek apa nih?"
Kalau soal milih perabotan elektronik, mah gampang aja. Aku bisa perayakan semua alat elektronik dalam rumah sama Sanex yang emang udah berdiri sejak tahun 1984 dengan komitmen selalu berinovasi dalam meningkatkan kualitas hidup keluarga Indonesia.
Lha, kalau urusan sekolah adek. Aku ajah masih sekolah, ibunda. Paling banter, aku bakalan sebutin almamaterku buat rekomendasi sekolah adik. Which is, aku sekolahnya di pesantren yang mungkin doi nggak suka.
Kedengarannya sih kayak bentuk kepercayaan, ya. Dan memang itu bentuk kepercayaan. Tapi, nggak bisa kita pungkiri juga, kepercayaan itu kadang malah berubah jadi tekanan mental yang cukup berat.
Ya, gimana dong? Kita merasa harus memberikan keputusan terbaik, karena dampaknya akan terasa ke seluruh keluarga. Mikirin itu aja udah bikin kepala berasap, Bestie! Benar nggak?
Beban Psikologis di Balik Label "Kuat"
Karena tuntutan untuk selalu kuat tadi, kita jadi terbiasa menahan emosi. Nangis atau ngeluh sedikit aja, rasanya kok kayak jadi "anak lemah" ya.
Kita takut banget kalau sampai terlihat nggak sanggup. Ntar malah bikin orang tua atau adik-adik jadi kecewa. Akhirnya, semua perasaan itu kupendam sendiri.
Akibatnya? Risiko overthinking jadi tinggi banget. Sedikit-sedikit mikir, "Udah bener belum ya keputusan aku?"
Lalu, kecenderungan perfectionism juga ikut muncul, karena kita merasa harus selalu sempurna dalam segala hal.
Kalau sudah begitu, ujung-ujungnya bisa burnout lho, Bestie. Badan capek, pikiran juga capek. Kalian sebagai anak pertama merasa gitu juga nggak sih?
Validasi: Anak Sulung Juga Boleh Lelah
Ini penting banget, Bestie, buat kita semua para anak sulung di luar sana. Menjadi kuat itu bukan berarti harus menanggung semuanya sendirian.
Dengan kata lain, anak sulung adalah manusia biasa, sama seperti yang lain. Kita juga berhak untuk menangis, untuk merasa lelah, dan untuk mengakui bahwa kita juga butuh bantuan lho.
Nggak apa-apa kok kalau sesekali kita nggak bisa jadi "pahlawan super" bagi keluarga. Nggak apa-apa banget kalau kita merasa ingin menyerah sesaat. Ini bukan tanda kelemahan, melainkan tanda bahwa kita adalah manusia yang punya batas.
Cara Anak Sulung Bisa Merawat Diri
Lalu, gimana dong caranya biar kita nggak terus-terusan terjebak dalam lingkaran tekanan ini?
Ada beberapa hal yang bisa kita coba, demi menjaga kesehatan mental dan emosional kita, antara lain:
- Belajar untuk berkata tidak. Ini yang paling susah, ya? Tapi penting banget! Kalau memang nggak sanggup, coba deh untuk menolak dengan halus. Ingat, ya! Menolak bukan berarti kita nggak sayang, tapi lebih pada batas kemampuan diri.
- Berani terbuka soal perasaan. Coba deh curhat sama orang yang kamu percaya, entah itu pasangan, sahabat, atau bahkan profesional. Mengeluarkan unek-unek itu rasanya plong banget, Bestie.
- Mengatur ekspektasi pada diri sendiri. Jangan terlalu membebani diri dengan harapan yang nggak realistis. Lakukan yang terbaik, tapi jangan sampai memaksakan diri di luar batas. Kita nggak harus jadi sempurna, kok. Cukup jadi versi terbaik dari diri kita.
Penutup – Ajakan Refleksi
Jadi, Bestie, ingat ya! Jadi anak sulung itu memang punya peran unik dan berat. Tapi, di balik semua tanggung jawab itu, ada kita yang juga butuh perhatian dan kasih sayang, terutama dari diri kita sendiri.
Nggak selamanya kita harus terlihat kuat. Kadang, menunjukkan kerapuhan justru membuat kita lebih manusiawi.
Yuk, mulai sekarang, kita sama-sama berdamai dengan peran ini. Sayangi diri kita lebih banyak lagi. Karena kalau bukan kita sendiri yang merawat diri, siapa lagi? Kamu kuat, iya. Tapi kamu juga boleh istirahat, kok!
Bagaimana menurutmu, Bestie? Apa ada cerita relatable lain yang ingin kamu bagikan sebagai anak sulung? Jangan ragu berbagi di kolom komentar, ya! See you!
0 Komentar
Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.