Merindukan Pernikahan - Delapan Belas

Rayyan POV



Baca juga cerita sebelumnya - Merindukan Pernikahan Tujuh Belas

Hari berlalu seolah berlari kencang. Setelah kejadian Ayu yang nekat mendatangi kantor tempo hari, dia tidak terdengar lagi kabarnya. Mungkin dia sudah sadar dan kembali kepada suaminya.

Apa kemarin katanya? Suaminya berkhianat? Yang ada mungkin malah dia yang berkhianat. Tapi biarlah. Itu bukan urusanku. Selama dia tidak mengusik ketenanganku dan Abigail, maka semua akan baik-baik saja.

Saat ini yang harus ku pikirkan adalah bagaimana agar Abigail tidak dimutasi kemanapun saat aku memberikan surat cuti kami. Tak mengapa meski kami tidak dalam satu divisi lagi, yang penting tidak berbeda kantor. Lagipula dia tidak akan setuju jika ku minta berhenti bekerja.

Abigail mengetuk pintu sebelum masuk ke ruanganku dengan berkas di tangannya. Data hutang supplier yang tadi ku minta. Aku perlu memilah mana yang mesti didahulukan pembayarannya. Tentu saja sesuai dengan waktu jatuh tempo pembayaran dan kepentingan pembelian barang selanjutnya.

“Ini data yang mas minta tadi, sudah saya tandai mana yang mesti segera dibayar”, katanya sembari menyodorkan berkas yang dia kerjakan.

Aku mengalihkan perhatianku pada berkas itu. Selama ini perusahaan kami berusaha untuk tidak menunda pembayaran kepada supplier. Biasanya kami akan mengajukan pembayaran kepada team finance, tiga minggu sebelum jatuh tempo. Jadi, tidak ada masalah yang serius. Sementara ini kantor bisa ku tinggal sebentar untuk urusan lamaranku.

“Ada barang yang kamu inginkan untuk seserahan, Abs?”, tanyaku tanpa mengalihkan perhatian dari berkas di tanganku, karenanya aku tidak tahu bagaimana ekspresi wajah calonku itu.

“Mas, serius mau bahas itu di kantor?”, Tanya Abigail setelah terdiam beberapa saat. Mungkin dia sedikit terkejut dengan pertanyaanku.

Aku menatapnya tajam. “Kenapa memangnya?”

“Ini di kantor, Mas”, jawabnya.

“Lalu?”

“Kita akan membicarakan masalah pribadi di kantor? Yang bener aja, Mas”, omelnya.

Setelah sekian lama berinteraksi dengan gadis dihadapanku ini, aku baru mengerti satu hal. Dia tidak akan sungkan mengomel jika itu urusan pribadi. Apalagi jika sedang senang atau cemburu seperti beberapa hari lalu. Hal itu cukup menghiburku.

“Tidak masalah selama pekerjaanmu sudah kamu selesaikan”, jawabku acuh sembari meletakkan berkas yang sudah selesai ku periksa.

Tidak ada yang salah. Seperti biasa, dia menyelesaikannya dengan baik. Aku jadi berpikir, aku pasti harus beradaptasi kembali dengan orang baru, jika nanti Abigail sudah pindah divisi. Mengajari orang lagi agar bisa mengimbangi ritme kerjaku.

“Terserah Mas sajalah”, katanya mengalah.

“Jadi, ada sesuatu yang kamu inginkan?”, tanyaku lagi.

“Tidak ada. Memangnya urusan sama Mbak Ayu sudah kelar? Aku nggak mau ya dia godain Mas lagi”, ujarnya tegas.

“Aku sudah tidak punya urusan lagi dengannya, Abs”, kataku tajam.

“Itu kan menurut Mas Ray”.

“Aku nggak perduli lagi terhadap perasaannya. Dia bebas mau menyukai siapapun di dunia ini. bukankah yang terpenting adalah perasaanku. Dan aku sudah memilihmu, Abs”, jelasku sedikit keras. “Tidak bisakah sekarang kita focus pada persiapan acara lamaran kita saja?”, Tanyaku kemudian.

“Apa lagi yang mau disiapkan? Toh mama dan papa pasti sudah bilang sama mamanya mas Ray harus gimana kan?”

Aku hanya mengangguk. Memang benar, kedua keluarga telah menyepakati beberapa hal. Mengenai acara lamaran, seserahan juga waktu pernikahan kami yang akan disepakati pada acara lamaran nanti. Kami hanya terima beresnya saja.

“Lalu, bagaimana kalau setelah menikah kamu berhenti bekerja saja, Abs?”, pintaku mencoba. Siapa tahu dia akan langsung menerima. Toh penghasilanku lebih dari cukup untuk kebutuhan kami juga mama dan tabungan kami.

“Kita sudah sepakat, Mas. Aku nggak akan berhenti kerja sebelum punya anak”, omelnya.

Mungkin aku sudah gila. Melihatnya mengomel seperti itu membuatku bersemangat untuk terus menggodanya. Rasanya aku bisa hidup hanya dengan omelannya saja. Katakan aku lebay.

“Kamu tahu ‘kan, peraturan perusahaan nggak akan mengijinkan kita bekerja dalam satu divisi. Apalagi kita menangani masalah pembelian dalam jumlah yang tidak sedikit”, jelasku.

“Makanya Mas cari cara dong biar aku dimutasinya nggak harus ke kantor perwakilan atau ke kebun”, pintanya memelas.

Aku tersenyum tipis. “Sebegitu nggak inginnya kamu tinggal jauh dariku, Abs?”, godaku akhirnya.

Wajahnya memerah. Tapi dia cukup cepat mengendalikan ekspresinya, membuatku semakin geli. “Fine, aku nggak masalah dimutasi ke kebon kalau begitu”, rutuknya sambil melenggang pergi meninggalkan ruanganku. Mulutnya masih saja berkomat-kamit saat dia telah duduk di meja kerjanya.

Yang benar saja. Memang aku sebodoh itu sampai membiarkan dia dipindahkan ke kota lain selain Semarang. Kalaupun benar, keputusan HRD akan memindahkannya ke kebun, lebih baik aku memaksanya mencari pekerjaan lain atau berhenti bekerja saja sekalian. Toh dengan begitu mama tidak akan kesepian lagi. Mama akan punya teman berkreasi di rumah.

Aku sampai lupa bertanya tentang surat cutinya. Dia harus mulai cuti akhir pekan ini, karena acara lamaran akan diadakan minggu depan.

==========

“Jadi, bro. Selama ini Abigail yang sanggup mencairkan kebekuan hatimu?”, Tanya Bang Edgar supervisor bagian agronomi.

Bukan tanpa alasan aku mengajaknya nongkrong malam ini. Tak lain hanya untuk meminta bantuannya. Dia orang kepercayaan direktur agronomi. Masukannya akan sangat dipertimbangkan oleh Pak Bagas.

“Bang, masalah Abigail, tak bisakah abang menyarankan dia masuk divisi abang saja?”, tanyaku langsung tanpa basa-basi.

“Kenapa kau takut dia dimutasi ke Palembang? Ayolah Ray, kamu bisa selalu mengunjunginya kapanpun kamu mau”, jawab Bang Edgar.

Orang batak satu ini mana mau langsung menyepakati satu hal. Dia akan bersikap seolah-olah enggan menerima masukan orang lain, seperti sekarang ini. Berpura-pura tidak ingin Abigail masuk ke divisinya. Padahal aku sangat tahu, dia tidak akan menolak gadis itu masuk ke divisinya. Dia sudah sangat paham bagaimana kinerja Abigail selama ini.

Abigail, gadis itu sangat cekatan dalam bekerja. Cukup teliti masalah angka meski beberapa kali harus merevisi laporannya. Tapi itu tidak banyak dan bukan kesalahan yang fatal. Menurutku kalau menangani data agronomi dan menganalisa produksi dan kebutuhan biayanya, dia lebih dari mampu untuk melakukan itu.

“Bukan itu masalahnya, Bang”, elakku.

“Masalahnya adalah kalian pasangan baru, jadi tidak ingin tinggal berpisah. Begitu kan?”, tebaknya.

Bingo. Kenapa pakai ribet kesana-kemari jika sebenarnya Bang Edgar sudah mengerti? Setujui saja dan segera rekomendasikan ke Pak Bagas kan beres. Aku bisa segera pulang, mandi dan beristirahat. Mau sekuat apapun aku, tak bisa dipungkiri kalau aku juga manusia yang bisa lelah.

Dan nampaknya Bang Edgar masih belum ingin aku beranjak pergi dari café Rosti begitu saja. Apakah dia tidak ingin segera pulang dan bertemu anak dan istrinya?

“Abang juga pernah merasakannya ‘kan? Jadi harusnya tahulah masalah begini”, keluhku.

“Terkadang, Ray. Suatu hubungan itu bisa dibuktikan saat berjauhan. Akan lebih menyenangkan moment saat kalian bertemu nanti. Lagipula, kamu bisa lebih leluasa bermain-main. Kamu tidak ingin mencoba?”, goda Bang Edgar.

Memang dia pikir semua pria akan menjadi hidung belang sepertinya. Harusnya dulu saat papa masih hidup, Bang Edgar ku pertemukan dengan beliau. Bang Ed akan banyak belajar bagaiamana arti sebuah kesetiaan terhadap pasangan. Sebagai balasannya, dia akan mendapatkan pengabdian total dari istrinya.

Dia mana mengerti masalah begini. Yang ada di otaknya hanya bagaimana mencari jajan di luar rumah. Dia sama sekali tidak memikirkan bagaimana lelahnya sang istri di rumah.

“Jadi Bang Ed mau bantuin saya atau tidak?”, desakku.

Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan segala omong kosongnya tentang bermain-main, jajan di luar rumah atau apapun istilahnya. Papa tidak pernah mengajarkanku begitu.

“Nanti akan ku bicarakan pada Pak Bagas, Ray. Tidak akan sulit mendapatkan rekom itu. Toh Pak Bagas juga sudah tahu bagaimana kinerja Abigail selama ini. Tapi sepertinya kamu harus mencari staff lain, Ray”, jawab Bang Edgar akhirnya.

Team HRD akan memikirkan bagaimana menemukan staff pembelian baru. Aku hanya akan tinggal meminta pada mereka. Dan akhirnya aku akan segera menemukan staffku kembali.

Satu masalah sudah terselesaikan. Kali ini aku bisa bebas dari urusan pekerjaan sejenak. Menyiapkan diri untuk acara lamaran minggu depan. Bahkan mama sudah mulai membuat list daftar seserahan. Beliau juga sudah mulai menghubungi pihak keluarga untuk menjadi wakil ketika acara lamaranku nanti.

Kali ini aku tidak ingin gagal lagi. Setidaknya aku akan mencoba untuk menjalani pernikahan yang mendekatkan kami pada Tuhan kami. Dengan Abigail yang begitu baik meski sedikit kasar, rasanya bukan hal yang sulit untuk mewujudkannya. Aku yakin dia bisa bersikap bagaimana layaknya seorang istri sholehah. Dan dia adalah milikku yang tidak lama lagi akan menjadi istriku.

I can hardly wait her to be my wife.

To Be Continue

With Love



Filia Suka Nulis
Yuni Bint Saniro

Blogger wanita yang menyukai dunia menulis sejak SMA. Saat ini masih pemula. Tapi tidak masalah. Kelak ada masanya menjadi profesional. Semangat.

Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama

Artikel Terbaru di Yuni Bint Saniro