Budaya Carok, Pak Sakera dan Celurit Emas

Yuni Bint Saniro – Tahu nggak, Gengs? Apa sih kesan pertama yang kudengar saat aku mengenalkan diri sebagai orang Madura pada teman-teman baru?

Mereka akan berpikir seperti ini, katanya orang Madura adalah orang yang keras. Suka carok dengan celurit. Meskipun pemikiran itu kerap kali terucapkan dengan nada bercanda.

Bahkan ada guyonan mengenai kemarahan orang Madura. Katanya, “Awas! Senggol bacok!”

Hmmm… Harus kuakui sih. Carok, celurit dan Pak Sakera memang bukan hal asing bagi masyarakat Madura. Ketiganya mencipta stereotip bahwa Madura identik dengan kekerasan. Bikin hatiku miris.

Bahkan carok sendiri dikenal sebagai bagian dari budaya. Tahu sendiri ‘kan? Ada beragam budaya Indonesia yang datang dari setiap wilayah di Negara kita.


Pak Sakera dan Celuritnya
Sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeB3IDtC2VoICk3krx0AgQA5cKmWuWLbq9EQymztoj1wqLEYz_Y_bF71s65ZjK6VNeAZXSHur2xYWMen2xdoDqEtvlnfv-7cOZbVrU6RfUmKhLQv-UoQ48w4_ysPX3yTdu-vvGlP4l9G4/w1200-h630-p-k-no-nu/sakera.jpg


Sejarah Budaya Carok: Pak Sakera dengan Celuritnya

Menilik dari sejarah budaya carok, konon katanya tradisi ini nggak benar-benar ada sejak peradaban Madura dimulai. Khususnya mengenai senjata yang dipakai. Celurit.

Bahkan ketika zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura pun nggak mengenal budaya ini. Saat itu, budaya mereka adalah membunuh orang secara ksatria. Bukan dengan celurit. Tapi dengan pedang atau keris.

Lantas kapankah celurit dan carok ini mulai dikenal?

Well, tersebutlah bahwa budaya carok muncul sejak zaman penjajahan Belanda, yaitu sekitar abad ke-18 M. Ada seorang mandor tebu di Pasuruan bernama Pak Sakera.

Pada cerita perjalanannya, dia nggak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Baginya, celurit merupakan simbol perlawanan dari rakyat jelata terhadap penjajahan.

Pak Sakera sendiri adalah seorang pemberontak dari kalangan santri. Dia termasuk orang muslim yang taat dalam beribadah.

Sementara itu, pihak Belanda menganggap celurit sebagai simbol senjata milik para jagoan dan penjahat. Dengan anggapan tersebut, pihak Belanda berusaha merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik celurit.

Mereka sengaja memberikan senjata itu kepada kaum Blater dan menebar kebencian. Hingga akhirnya upaya mereka berhasil.

Sebagian masyarakat Madura menjadikan perkelahian (yang kemudian dinamakan carok) sebagai falsafah hidupnya. Bahwa ketika ada masalah, baik itu perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya. Mereka akan menyelesaikannya dengan jalan Carok.

Penyebab Budaya Carok


Budaya Carok
Sumber: https://i1.wp.com/www.sejarah-budaya.com/wp-content/uploads/2018/10/img_20181011_0415061496329269.jpg?resize=600%2C400&ssl=1


Ketika masih bersekolah, tahun 1957, seorang penyair dan budayawan Madura, D Zawawi Imron pernah mendapati temannya dijemput kerabatnya. Si Dul, teman Pak Zawawi ini harus segera pulang karena ayahnya akan melakukan carok.

Singkat cerita, Pak Zawawi mendengar kabar carok ini sepulang sekolah. Karena memang kabarnya telah menyebar seantero desa.

Berdasarkan ceritanya, penyebab yang melatarbelakangi terjadinya carok saat itu adalah karena masalah perempuan. Konon, Ibu si Dul pernah mengalami pelecehan dari salah seorang pemuda yang tinggal di desa sebelah.

Mendapati permasalahan itu, ayah si Dul merasa nggak terima. Karena bagi masyarakat Madura, kasus pelecehan istri dan anak adalah hal yang memalukan untuk suami dan keluarganya.

Mereka menganggap istri sebagai bagian dari kehormatan para suami. Sehingga apapun bentuk pelecehannya hanya berarti satu hal. Si pelaku sedang mencari jalan kematian.

Selain itu, dalam beberapa perkara sengketa pun carok menjadi penyelesaian akhir. Pada awalnya, mereka akan melakukan musyawarah untuk mencari jalan keluar secara damai. Jika nggak menemukan kesepakatan dalam musyawarah tersebut, maka caroklah yang akan menyelesaikan.

Carok yang Turun Temurun

Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arang

Pernah mendengar istilah ini ‘kan ya, Gengs? Kadang kita bisa menyematkan istilah ini dalam budaya carok lho. Kenapa?

Dalam cerita budayawan Madura itu, ayah si Dul dan lawan duelnya memang nggak sampai menimbulkan korban jiwa. Hal ini karena pihak wasit menyatakan carok telah usai saat kedua belah pihak telah mengalami banyak luka.

Menurutnya luka-luka itu telah sepadan sebagai upaya membela harga diri. Saat itu, kedua pelaku carok harus mematuhi apapun perintah wasit.

Namun dalam perjalanannya, nggak sedikit carok yang menimbulkan korban jiwa. Pihak yang kalah sampai meninggal dunia. Lalu pihak yang menang menjadi seorang yang kemudian disegani karena kemampuannya. Bahkan ada yang dengan berani menyerahkan diri kepada pihak kepolisian.

Meskipun dalam hal ini kita nggak tahu maksud mereka untuk urusan penyerahan diri. Karena kadang keluarga dari pihak yang terbunuh biasanya akan menyimpan pakaian si terbunuh. Lho untuk apa?

Jadi, pakaian itu kelak akan ditunjukkan pada anak keturunan dengan penyampaian bahwa ayahnya telah terbunuh. Hal ini bertujuan agar anak keturunan dapat membalaskan dendam atas kematiannya.

Itu nggak hanya berlaku pada lawan duel carok sang ayah yang dianggap sebagai pembunuhnya saja. Tapi pada anak keturunan pembunuh pun ikut menjadi sasaran pembalasan dendam.

Sehingga, carok seolah menjadi warisan secara turun temurun.

Celurit Emas sebagai Upaya Hilangkan Budaya Carok di Madura

Penyair dan Budayawan Madura mengatakan bahwa kini setiap perkelahian yang menggunakan celurit disebut sebagai carok. Padahal menurut Kamus Bahasa Madura karya Aziz Syafiudin, carok adalah duel satu lawan satu dengan menggunakan senjata tajam (celurit).

Menurut Pak Zawawi, carok sebenarnya satu lawan satu. Beliau berpikir bahwa kalau pelaku carok melibatkan lebih banyak orang, maka namanya sudah bukan carok lagi.

Terlepas dari polemik makna carok, Pak Zawawi beranggapan mengenai kebiasaan carok yang sudah harus ditinggalkan. Saat ini, kita nggak lagi berada pada zaman dimana masalah bisa terselesaikan dengan jalan kekerasan.

Sehingga beliau membuat sebuah istilah yaitu “Celurit Emas” untuk mengajak masyarakat Madura mulai meninggalkan budaya carok. Tradisi ini bukanlah menjadi bagian dari ragam budaya Indonesia.

Pada akhirnya istilah ini menjadi judul salah satu antologi puisinya. Maka nggak heran saat "Celurit Emas" menjadi julukan Pak Zawawi dalam dunia kepenyairan.

Referensi:

  1. https://www.liputan6.com/regional/read/2932282/celurit-emas-hilangkan-carok-di-madura
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Carok
  3. https://id.wikipedia.org/wiki/Celurit_Emas

diakses pada tanggal 15 Januari 2022

Yuni Bint Saniro

Blogger wanita yang menyukai dunia menulis sejak SMA. Saat ini masih pemula. Tapi tidak masalah. Kelak ada masanya menjadi profesional. Semangat.

1 Komentar

Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.

  1. Wah baru tahu sejarahnya tentang carok ini dan begitu juga dengan tokoh Pak Sakera..

    Eh tapi kalau stereotipe bahwa orang-orang Madura itu berwatak keras ternyata memang hampir benar adanya lho. Salah satu buktinya adalah alm. suami sepupu saya, yg kebetulan orang sana juga..

    Konon dia itu dulu pernah "bersitegang" dengan pihak RS, ketika suatu waktu isterinya dirawat. Ketika itu karena merasa pendapatnya keukeuh paling benar, maka pihak RS pun akhirnya ngalah.. 😂

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama

Artikel Terbaru di Yuni Bint Saniro