Rayyan POV
Baca Kisah Sebelumnya - Merindukan Pernikahan Part Tiga Belas -
[Ayu : Ray, tolongin aku]
[Ayu : Temeni Alif jalan yuk]
Sebuah chat dari Ayu. Sebenarnya aku ingin istirahat, setelah kemarin seharian main sama Abigail dan Naila ke chimory. Badanku rasanya capek sekali. Tapi, tidak mungkin aku mengabaikan chat ini begitu saja. Maka ku kirim chat balasan.
[Aku : Kamu belum dijemput suamimu? ]
Sudah lama rasanya dia berada di Semarang. Merecokiku dengan segala kebutuhannya. Entah itu urusan Alif atau urusan pribadinya. Bukannya aku tidak suka membantu teman, tapi tidak etis rasanya seorang wanita sering bertemu dengan mantan suaminya 'kan?
[Ayu : Dia lagi sibuk banget dengan urusannya. ]
[Ayu : Jadi, jemput aku ya, Ray]
Kalau aku menemui mereka sendirian lagi, aku jadi merasa bersalah dengan Abigail. Lebih baik sekarang, kalau Ayu mengajak bertemu begini, aku harus membawa serta Abigail. Sekalian mengenalkan Abi padanya.
[Aku : Abs, sebentar lagi ku jemput ya]
Tidak butuh waktu lama untuk mendapat balasan dari Abigail. Tanpa bertanya, dia menyetujui ajakanku dengan catatan Naila ikut serta kemanapun kami pergi. Dan itu bukan masalah sama sekali. Semakin banyak orang yang ikut maka akan semakin rame. Bukankah perjalanan akan lebih menyenangkan. Lagipula ini bukan perjalanan bulan madu kami.
"Ngapain kamu senyum-senyum sendiri, Ray?", tanya mama yang kini sudah berdiri di samping tempat tidurku. "Kebiasaan banget sih, kalau hari libur, jam segini masih di tempat tidur", omel mama.
Aku hanya tersenyum. Seperti biasa mama akan mengambil seluruh baju kotorku dan mencucinya. Mama memang ibu rumah tangga impian. Beliau mampu mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sekaligus. Tak terbayang jika aku harus mengerjakannya sendirian.
Makanya, Ray. Jangan memandang rendah status ibu rumah tangga ya. Kamu disuruh beresin rumah sama ngurus anak sendirian, belum tentu mampu.
Teringat omelan mama, saat aku mengeluh betapa beratnya beban pekerjaanku. Yang ternyata tidak ada apa-apanya dibanding pekerjaan rumah tangga.
"Eh ni anak. Daripada di tempat tidur aja, mbok ya ngajak Abi jalan-jalan kemana gitu, Ray", omel mama lagi.
"Kemarin juga baru jalan sama temannya juga, ma", jawabku.
"Duh, wajar sih ya. Kamu kencannya cuma sama kerjaan aja. Mana ngerti kamu, kalau cewek itu pengen selalu diajak jalan kalau lagi libur begini. Bangun dong, Ray!"
Kali ini giliran meja kerja di kamarku yang mendapat giliran untuk dibereskan setelah menaruh baju-baju kotorku di timba yang mama bawa.
"Iya ma, iya. Hari ini Ray jalan sama Abi kok. Tapi sama Ayu dan anaknya juga", kataku sembari meletakkan gawaiku di nakas.
Mama menghentikan aktivitasnya beres-beres meja kerjaku. Pandangannya tajam menghujamku. Salahku apa?
"Ngapain kamu ngajak Ayu dan anaknya juga?", bentak mama.
"Ya, mereka kan minta diantar jalan-jalan, ma", jawabku santai.
"Duh, Ray. Kamu tu ya. Dimana-mana cewek itu nggak bakal mau barengan sama masa lalu pasangannya. Kamu masih bego aja jadi laki-laki", omel mama.
"Ma, Ray kan nggak macem-macem. Cuma bantuin teman aja", belaku.
"Tobat mama sama kamu, Ray. Ayu itu sudah nggak bisa lagi jadi temanmu. Dia sudah istri orang. Dan kamu sudah mau bertunangan", mama masih mengomel.
"Makanya, Ray ngajak Abi".
Aku heran dengan mama. Apa salahnya membantu teman yang kesusahan?
"Memang kamu sudah bilang Ayu kalau kamu sudah akan menikah?", tanya mama kembali melanjutkan kegiatan beres-beres.
"Belum. Rencana mau bilang hari ini",jawabku santai.
"Semoga dia nggak berencana mau balik lagi sama kamu ya. Mama nggak akan pernah setuju, Ray",tolak mama.
"Mama bicara apa sih? Ayu nggak punya masalah kok sama suaminya", kataku.
"Nggak punya masalah kok rajin banget minta tolong kamu nganter jalan-jalan", sindir mama.
Mungkinkah Ayu ada masalah dengan suaminya? Tapi bukankah dia bilang suaminya hanya sibuk? Ah apa perduliku? Masalah apapun yang terjadi dengan Ayu dan suaminya, sama sekali bukan urusanku.
Mengabaikan sindiran mama, akupun bersiap pergi. Menjemput Abigail sebelum menghampiri Ayu dan anaknya.
=========
"Jadi, kamu staffnya Rayyan di kantor, Bi? Aku mantan istri bosmu", tanya Ayu setelah aku mengenalkannya pada Abigail.
Saat ini kami sedang makan di rumah makan sederhana di jalan pandanaran. Tidak jauh dari kantorku. Abigail paling senang dengan masakan padang. Karena itulah aku memilih tempat ini.
Ku lihat gadisku itu hanya tersenyum. Berbanding terbalik dengan raut wajah Naila. Mukanya kecut sekali. Kusut seperti cucian yang lama tertumpuk dan belum disetrika. Kucel.
"Dih mantan aja bangga", sindir Naila.
"Ya mantan juga bisa balikan. Ya kan Ray?", goda Ayu.
Dasar Ayu. Sejak dulu tak pernah berhenti menggoda siapa saja yang dia anggap potensial. Tunggu, dia tidak sedang benar-benar menggodaku 'kan? Sial.
"Ih kepedean. Ngapain balikan sama mantan? Mantan mah buang aja pada tempatnya, ntar juga dipungut sama yang membutuhkan", sindir Naila.
"Kamu kenapa sih?", omel Ayu pada Naila.
Gadisku jangan tanya lagi bagaimana raut wajahnya. Senyumnya menghilang. Tatapannya tajam ke arahku. Meski aku tidak akan terintimidasi olehnya, tetap saja aku tidak akan membuatnya kesakitan begini.
"Yu, bisa berhenti bercandanya. Nggak lucu", ujarku memperingatkan.
"Siapa yang bercanda, Ray? Kalau aku bercerai dengan suamiku, kita bisa kembali seperti dulu", ucapnya.
Apa katanya bercerai? Masalah seberat apa yang membuatnya mudah sekali mengatakan cerai? Harta? Bukankah suaminya dulu dianggap paling kaya, hingga dia sangat ingin ku lepas kala itu. Lalu sekarang?
"Aku sudah akan menikah Yu. Dan aku lupa mengenalkan padamu, Abigail adalah calon istriku", kataku tegas.
Ayu terkejut. Naila tersenyum menang. Abigail bermuka datar. Dan Alif semakin asyik bermain di pangkuan Ayu. Anak itu tidak terpengaruh dengan situasi di sekelilingnya. Apa lagi yang ku harapkan dengan anak sekecil itu?
"Oh selamat kalau begitu, Ray", ucap Ayu setelah dia bisa menguasai rasa terkejutnya.
"Terima kasih".
"Makanya, jadi perempuan jangan kepedean", sindir Naila.
"Nai", Abigail memperingatkan.
Naila mengedikkan bahunya acuh. Dan situasinya menjadi tidak nyaman. Ayu menjadi diam seribu bahasa pun demikian dengan Abigail. Kami makan dalam senyap.
"Lain kali jangan terlalu baik sama cewek, Mas. Kadang-kadang cewek suka baper parah", Naila memperingatkanku.
Benar kata mama. Ayu tidak lagi bisa ku jadikan teman. Harusnya aku mengerti bagaimana sifat Ayu. Dia akan menghampiri seseorang yang dia anggap bisa memenuhi semua kebutuhannya. Dulu dia meninggalkanku demi suaminya yang sekarang.
"Masih mau ku antar kemana Yu?", tanyaku setelah kami selesai makan.
"Drop aku di Mall Paragon aja, Ray. Nanti aku bisa naik taksi pulangnya", jawab Ayu.
Setelah membayar semua makanan kami, aku mengantar Ayu ke Mall Paragon. Ku harap setelah ini, aku tidak lagi berurusan dengan Ayu. Aku tidak ingin mengambil resiko dengan rencana masa depanku.
Beruntung tadi pagi aku berinisiatif mengajak Abigail. Aku tidak berani membayangkan, apa jadinya jika aku hanya bertiga dengan Ayu dan anaknya. Bisa dianggap perebut istri orang aku.
Lain kali sebaiknya aku tidak membantah perkataan mama lagi. Bukankah mama seorang wanita, sudah pasti mama mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh wanita lain. Paling tidak, mama pasti punya asumsi. Dan akan lebih baik jika aku menurut saja.
"Mantan istri Mas Ray serem ya. Kelak kalau dia ngajakin ketemuan jangan mau lagi dong, Mas Ray", pinta Naila.
"Tidak lagi, Nai. Sudah cukup urusan saling bantu teman", jawabku tegas.
"Mantan itu bukan teman ya. Apalagi yang masih ngarep balikan begitu", sindir Abi.
"Loe cemburu, Bi?", goda Naila membuat Abigail merengut sebal.
Akhirnya aku mendengar suaranya juga. Meski hanya sindiran pedas. Apakah benar dia sedang cemburu? Bukankah cemburu berarti cinta? Apakah dia mencintaiku? Mengingat lamaranku yang sedikit memaksa waktu itu, aku jadi tidak tahu bagaimana perasaannya. Hanya memikirkan dia mencintaiku saja rasanya membuatku melayang. Masha Allah, beginikah rasanya menyukai calon istri sendiri?
- To Be Continue -
Find This Story in Wattpad Yuni Bint Saniro
With Love
Sumber : pinterest.com |
Baca Kisah Sebelumnya - Merindukan Pernikahan Part Tiga Belas -
[Ayu : Ray, tolongin aku]
[Ayu : Temeni Alif jalan yuk]
Sebuah chat dari Ayu. Sebenarnya aku ingin istirahat, setelah kemarin seharian main sama Abigail dan Naila ke chimory. Badanku rasanya capek sekali. Tapi, tidak mungkin aku mengabaikan chat ini begitu saja. Maka ku kirim chat balasan.
[Aku : Kamu belum dijemput suamimu? ]
Sudah lama rasanya dia berada di Semarang. Merecokiku dengan segala kebutuhannya. Entah itu urusan Alif atau urusan pribadinya. Bukannya aku tidak suka membantu teman, tapi tidak etis rasanya seorang wanita sering bertemu dengan mantan suaminya 'kan?
[Ayu : Dia lagi sibuk banget dengan urusannya. ]
[Ayu : Jadi, jemput aku ya, Ray]
Kalau aku menemui mereka sendirian lagi, aku jadi merasa bersalah dengan Abigail. Lebih baik sekarang, kalau Ayu mengajak bertemu begini, aku harus membawa serta Abigail. Sekalian mengenalkan Abi padanya.
[Aku : Abs, sebentar lagi ku jemput ya]
Tidak butuh waktu lama untuk mendapat balasan dari Abigail. Tanpa bertanya, dia menyetujui ajakanku dengan catatan Naila ikut serta kemanapun kami pergi. Dan itu bukan masalah sama sekali. Semakin banyak orang yang ikut maka akan semakin rame. Bukankah perjalanan akan lebih menyenangkan. Lagipula ini bukan perjalanan bulan madu kami.
"Ngapain kamu senyum-senyum sendiri, Ray?", tanya mama yang kini sudah berdiri di samping tempat tidurku. "Kebiasaan banget sih, kalau hari libur, jam segini masih di tempat tidur", omel mama.
Aku hanya tersenyum. Seperti biasa mama akan mengambil seluruh baju kotorku dan mencucinya. Mama memang ibu rumah tangga impian. Beliau mampu mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sekaligus. Tak terbayang jika aku harus mengerjakannya sendirian.
Makanya, Ray. Jangan memandang rendah status ibu rumah tangga ya. Kamu disuruh beresin rumah sama ngurus anak sendirian, belum tentu mampu.
Teringat omelan mama, saat aku mengeluh betapa beratnya beban pekerjaanku. Yang ternyata tidak ada apa-apanya dibanding pekerjaan rumah tangga.
"Eh ni anak. Daripada di tempat tidur aja, mbok ya ngajak Abi jalan-jalan kemana gitu, Ray", omel mama lagi.
"Kemarin juga baru jalan sama temannya juga, ma", jawabku.
"Duh, wajar sih ya. Kamu kencannya cuma sama kerjaan aja. Mana ngerti kamu, kalau cewek itu pengen selalu diajak jalan kalau lagi libur begini. Bangun dong, Ray!"
Kali ini giliran meja kerja di kamarku yang mendapat giliran untuk dibereskan setelah menaruh baju-baju kotorku di timba yang mama bawa.
"Iya ma, iya. Hari ini Ray jalan sama Abi kok. Tapi sama Ayu dan anaknya juga", kataku sembari meletakkan gawaiku di nakas.
Mama menghentikan aktivitasnya beres-beres meja kerjaku. Pandangannya tajam menghujamku. Salahku apa?
"Ngapain kamu ngajak Ayu dan anaknya juga?", bentak mama.
"Ya, mereka kan minta diantar jalan-jalan, ma", jawabku santai.
"Duh, Ray. Kamu tu ya. Dimana-mana cewek itu nggak bakal mau barengan sama masa lalu pasangannya. Kamu masih bego aja jadi laki-laki", omel mama.
"Ma, Ray kan nggak macem-macem. Cuma bantuin teman aja", belaku.
"Tobat mama sama kamu, Ray. Ayu itu sudah nggak bisa lagi jadi temanmu. Dia sudah istri orang. Dan kamu sudah mau bertunangan", mama masih mengomel.
"Makanya, Ray ngajak Abi".
Aku heran dengan mama. Apa salahnya membantu teman yang kesusahan?
"Memang kamu sudah bilang Ayu kalau kamu sudah akan menikah?", tanya mama kembali melanjutkan kegiatan beres-beres.
"Belum. Rencana mau bilang hari ini",jawabku santai.
"Semoga dia nggak berencana mau balik lagi sama kamu ya. Mama nggak akan pernah setuju, Ray",tolak mama.
"Mama bicara apa sih? Ayu nggak punya masalah kok sama suaminya", kataku.
"Nggak punya masalah kok rajin banget minta tolong kamu nganter jalan-jalan", sindir mama.
Mungkinkah Ayu ada masalah dengan suaminya? Tapi bukankah dia bilang suaminya hanya sibuk? Ah apa perduliku? Masalah apapun yang terjadi dengan Ayu dan suaminya, sama sekali bukan urusanku.
Mengabaikan sindiran mama, akupun bersiap pergi. Menjemput Abigail sebelum menghampiri Ayu dan anaknya.
=========
"Jadi, kamu staffnya Rayyan di kantor, Bi? Aku mantan istri bosmu", tanya Ayu setelah aku mengenalkannya pada Abigail.
Saat ini kami sedang makan di rumah makan sederhana di jalan pandanaran. Tidak jauh dari kantorku. Abigail paling senang dengan masakan padang. Karena itulah aku memilih tempat ini.
Ku lihat gadisku itu hanya tersenyum. Berbanding terbalik dengan raut wajah Naila. Mukanya kecut sekali. Kusut seperti cucian yang lama tertumpuk dan belum disetrika. Kucel.
"Dih mantan aja bangga", sindir Naila.
"Ya mantan juga bisa balikan. Ya kan Ray?", goda Ayu.
Dasar Ayu. Sejak dulu tak pernah berhenti menggoda siapa saja yang dia anggap potensial. Tunggu, dia tidak sedang benar-benar menggodaku 'kan? Sial.
"Ih kepedean. Ngapain balikan sama mantan? Mantan mah buang aja pada tempatnya, ntar juga dipungut sama yang membutuhkan", sindir Naila.
"Kamu kenapa sih?", omel Ayu pada Naila.
Gadisku jangan tanya lagi bagaimana raut wajahnya. Senyumnya menghilang. Tatapannya tajam ke arahku. Meski aku tidak akan terintimidasi olehnya, tetap saja aku tidak akan membuatnya kesakitan begini.
"Yu, bisa berhenti bercandanya. Nggak lucu", ujarku memperingatkan.
"Siapa yang bercanda, Ray? Kalau aku bercerai dengan suamiku, kita bisa kembali seperti dulu", ucapnya.
Apa katanya bercerai? Masalah seberat apa yang membuatnya mudah sekali mengatakan cerai? Harta? Bukankah suaminya dulu dianggap paling kaya, hingga dia sangat ingin ku lepas kala itu. Lalu sekarang?
"Aku sudah akan menikah Yu. Dan aku lupa mengenalkan padamu, Abigail adalah calon istriku", kataku tegas.
Ayu terkejut. Naila tersenyum menang. Abigail bermuka datar. Dan Alif semakin asyik bermain di pangkuan Ayu. Anak itu tidak terpengaruh dengan situasi di sekelilingnya. Apa lagi yang ku harapkan dengan anak sekecil itu?
"Oh selamat kalau begitu, Ray", ucap Ayu setelah dia bisa menguasai rasa terkejutnya.
"Terima kasih".
"Makanya, jadi perempuan jangan kepedean", sindir Naila.
"Nai", Abigail memperingatkan.
Naila mengedikkan bahunya acuh. Dan situasinya menjadi tidak nyaman. Ayu menjadi diam seribu bahasa pun demikian dengan Abigail. Kami makan dalam senyap.
"Lain kali jangan terlalu baik sama cewek, Mas. Kadang-kadang cewek suka baper parah", Naila memperingatkanku.
Benar kata mama. Ayu tidak lagi bisa ku jadikan teman. Harusnya aku mengerti bagaimana sifat Ayu. Dia akan menghampiri seseorang yang dia anggap bisa memenuhi semua kebutuhannya. Dulu dia meninggalkanku demi suaminya yang sekarang.
"Masih mau ku antar kemana Yu?", tanyaku setelah kami selesai makan.
"Drop aku di Mall Paragon aja, Ray. Nanti aku bisa naik taksi pulangnya", jawab Ayu.
Setelah membayar semua makanan kami, aku mengantar Ayu ke Mall Paragon. Ku harap setelah ini, aku tidak lagi berurusan dengan Ayu. Aku tidak ingin mengambil resiko dengan rencana masa depanku.
Beruntung tadi pagi aku berinisiatif mengajak Abigail. Aku tidak berani membayangkan, apa jadinya jika aku hanya bertiga dengan Ayu dan anaknya. Bisa dianggap perebut istri orang aku.
Lain kali sebaiknya aku tidak membantah perkataan mama lagi. Bukankah mama seorang wanita, sudah pasti mama mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh wanita lain. Paling tidak, mama pasti punya asumsi. Dan akan lebih baik jika aku menurut saja.
"Mantan istri Mas Ray serem ya. Kelak kalau dia ngajakin ketemuan jangan mau lagi dong, Mas Ray", pinta Naila.
"Tidak lagi, Nai. Sudah cukup urusan saling bantu teman", jawabku tegas.
"Mantan itu bukan teman ya. Apalagi yang masih ngarep balikan begitu", sindir Abi.
"Loe cemburu, Bi?", goda Naila membuat Abigail merengut sebal.
Akhirnya aku mendengar suaranya juga. Meski hanya sindiran pedas. Apakah benar dia sedang cemburu? Bukankah cemburu berarti cinta? Apakah dia mencintaiku? Mengingat lamaranku yang sedikit memaksa waktu itu, aku jadi tidak tahu bagaimana perasaannya. Hanya memikirkan dia mencintaiku saja rasanya membuatku melayang. Masha Allah, beginikah rasanya menyukai calon istri sendiri?
- To Be Continue -
Find This Story in Wattpad Yuni Bint Saniro
With Love