Merindukan Pernikahan - Dua Puluh Tiga

Sumber : Pixabay.com

Abigail POV

"Mbak Bi, udah denger kabar belum?" tanya Mery sekembalinya dia dari ruangan Pak Edgar.

Seperti biasa, Mery suka heboh sendiri ketika mendapat informasi apapun. Dan dia ini yang paling update kalau masalah kabar-kabar seputar kantor. Mungkin karena bosnya adalah Pak Edgar kali ya. Doi kan sumber dari segala sumber. Bahkan ada yang bilang, Pak Edgar anak emas Pak CEO. Nah lho.

Baca juga Merindukan Pernikahan - Dua Puluh


"Kabar apa?" tanyaku cuek. Aku dan Mbak Desi sudah biasa dengan kehebohan dia. Sudah tidak heran lagi. Yah, meski ada kalanya kami juga punya rasa ingin tahu yang besar tentang info-info darinya.

"Mutasi. Kayaknya Mbak Bi mau dimutasi ke Palembang deh," jawabnya berbisik.

Well. Aku tidak terlalu terkejut dengan kabar itu. Aku sudah menduganya sejak awal. Jadi, mendengar Mery membisikkan informasi itu, reaksiku biasa saja. Lebih tepatnya, aku mencoba menerima. Toh, itu sudah konsekuensiku menerima lamaran Mas Ray.

"Mbak Bi nggak kaget atau apa gitu? Datar banget responnya. Nggak asyik," keluh Mery mengundang perhatian Mbak Desi yang sedang fokus dengan pekerjaannya.

"Kenapa dia mesti kaget, Mer?" Mbak Desi nimbrung.

Bagi kami, sekedar bergosip sejenak tidak akan membuat pekerjaan kami tertunda. Asal tidak terlalu lama saja.

"Katanya Mbak Bi mau dimutasi ke Palembang, Mbak Des. Tapi lihat deh, dia biasa aja," jawab Mery sebal.

Memang apa yang dia harapkan? Aku syok? Atau mewek dan protes pada management? Aku sadar diri kali ya, kalau aku hanya remahan rempeyek di dasar toples.

"Beneran, Bi. Kamu udah terima suratnya?" tanya Mbak Desi padaku. Dia yang terlihat lebih terkejut.

Aku hanya menggelengkan kepala dan kembali menyelesaikan segala tugasku. Laporan persediaan gudang, laporan hutang supplier, membuat list kontak supplier dan lain sebagainya. Semua laporan itu ku jadikan satu folder yang ku beri nama "Serah Terima".

Suka atau tidak, aku harus bersiap dipindahkan.

Pandangan orang-orang kantor mulai aneh sejak aku kembali dari Surabaya. Mereka sering terlihat berkelompok dan berbisik-bisik. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Terlihat seru sekali. Namun ketika aku melintas, mereka berhenti sambil menatapku. Rasanya tidak nyaman. Seolah aku adalah seorang pesakitan.

Mbak Desi melongokkan kepalanya untuk melihat layar komputerku. "Tuh, kamu bahkan sudah siapkan folder serah terima," tunjuk Mbak Desi dengan dagunya.

"Ini persiapan, Mbak. Kan suami istri nggak boleh dalam satu Divisi," jawabku.

"Iya sih, tapi 'kan masih nggak papa dalam satu kantor juga asal beda divisi," kata Mbak Desi kembali ke kubikelnya.

Mery terlihat berpikir keras. Matanya menatap lurus pada layar komputernya, tetapi aku yakin, pikirannya sedang melayang entah kemana.

"Lagi mikirin apa, Mer? Tugas dari Pak Edgar susah lagi?" tanyaku.

Asal kalian tahu, Mery itu paling sebel sama bos bataknya. Kalau merintah suka seenaknya sendiri. Tapi, namanya juga bos ya. Dimana-mana 'kan selalu benar.

"Nggak. Bos lagi jinak. Nggak merintah apa-apa sepanjang hari ini," jawabnya.

"Terus kenapa itu muka ditekuk?" tanyaku lagi.

Mery terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri. Seperti memastikan sesuatu. Dan memang benar, di sisi kantor ini hanya ada kami bertiga. Bagian finance, Mbak Desi. Bagian Agronomi, Mery. Dan purchasing, aku. Yang mana, tempat kami hanya disekat setinggi dada. Tidak ada staff lain.

"Mungkin nggak sih Mbak, yang bikin Mbak Bi dimutasi ke Palembang itu Mbak Mega?" bisik Mery.

Dahiku mengernyit. Pandanganku langsung teralihkan pada Mery. Bingung. Apa urusannya Mbak Mega sama masalah ini?

"Kenapa kamu bisa berasumsi begitu?" tanyaku.

"Cuma nebak," jawab Mery santai.

"Yakin cuma nebak?" tanyaku mencoba mendesak. Lebih tepatnya memastikan.

"Yah, Mbak Bi tahulah, Mbak Mega 'kan udah suka sama Mas Ray sejak dulu. Cuma nggak digubris sama doi. Lalu tiba-tiba, ada kabar Mbak mau nikah sama Mas Ray. Wajar dong, kalau aku jadi nebak begitu," jelasnya sedikit panjang.

Siapa sih yang tidak menyukai Ma Rayyan di kantor ini? Hampir semua wanita single di sini suka padanya. Bahkan mungkin juga Mery. Tapi, kalau untuk membuatku sampai dipindahkan ke luar kota, rasanya tidak mungkin. Management pasti punya alasannya sendiri.

"Jangan asal nebak kalau gitu ah!" ingatku.

Selanjutnya, kami sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Sesekali akan ada keributan kecil di kubikel kami. Namun, tidak sampai membuat gaduh suasana kantor. Aku suka bekerja di sini. Terlalu nyaman dengan mereka berdua. Rasanya aneh akan meninggalkan tempat ini. Tapi, mau bagaimana lagi?

==========

Waktu pulang kantor sudah lewat dari setengah jam yang lalu. Mery dan Mbak Desi bahkan sudah pulang sejak tadi meninggalkanku yang masih setia bergelut dengan segala macam PO. Alasannya klise. Barang ini urgent. Butuh segera sampai di kebun.

"Mereka pikir proses pengiriman barang sampai kebun bisa selesai sejam-dua jam apa. Sukanya kok mendadak terus," gerutuku.

Aku memegang map bening berisikan berkas PO spare part excavator yang memang sudah breakdown sejak beberapa hari lalu. Ku buka pintu kaca ruangan Mas Rayyan. Ku lihat dia sedang serius menekuni layar laptopnya. Keningnya berkerut seolah banyak hal rumit yang tak bisa cepat dia selesaikan. Namun begitu, dia masih terlihat mempesona. Dan dingin. Dia sama sekali tak terganggu dengan pintu kaca yang ku buka.

"Mas," sapaku sembari duduk di kursi yang ada di hadapannya.

Mendengar sapaanku, barulah pandangannya berpindah. Dia duduk menyandar di kursi putarnya. Menghela napas berat.

Rasanya, yang paling besar kemungkinan dipindahkan itu aku. Kenapa dia yang seolah kalah perang begini?

Baca juga Kisah - Merindukan Pernikahan - Dua Puluh Satu


"Surat cuti sudah diserahkan ke HRD?" tanya Mas Ray.

"Sudah," jawabku sembari menyodorkan berkas yang mesti dia setujui.

"Apa ada masalah?"

"Nggak ada."

Aku ingin sekali melanjutkan dengan berkata kecuali tatapan aneh orang-orang kantor padaku. Tapi tentu saja, aku tidak bisa mengeluh hanya karena masalah itu.

"Bereskan semua memo permintaan yang sudah masuk, sebelum kamu pulang. Selebihnya biar diurus sama Mery," jelasnya.

Memang staff Mas Rayyan hanya aku yang ada di kantor pusat. Kalau aku sedang sakit atau ijin, Mery yang biasa menggantikan. Tadinya, ku pikir kami hanya akan bertukar posisi.

"Iya Mas," jawabku.

Dia terlihat sibuk memeriksa, sebelum akhirnya membubuhkan tanda tangan di sana. Setelah itu, pandangannya menatapku. Sebenarnya biasa saja sih. Tidak tajam menusuk seperti biasanya. Tapi entah kenapa aku jadi merinding ditatap sama Mas Ray. Akhirnya aku cuma bisa menunduk menatap block note sambil mencoret-coretnya tidak jelas.

"Kamu suka banget buat gambar abstrak di block note," kata Mas Ray membuatku heran.

Aku menatapnya penuh tanda tanya. Dia menunjuk block noteku dengan dagunya. Memang banyak sekali coretan abstrak di sana. Lebih tepatnya, coretan tak beraturan yang ku tuliskan di sana. Hanya berupa lingkaran yang mirip dengan benang kusut.

"Ah ini," aku segera menarik block noteku dan meletakkannya di pangkuanku.

"Kalau kamu suka melukis, jangan cuma di block note lah, Bi," katanya.

Dia ini menyindir atau apa? Melukis katanya? Kalau benang kusut sih tidak perlu keahlian apa-apa. "Mas, nyindir aku yah?" tanyaku ketus.

"Nggak."

Berdebat sama dia tidak akan ada habisnya. Kalian tidak lupa 'kan sama peraturan bos.

"Sudah disetujui kan POnya, Mas. Kalau sudah, aku mau pulang," pamitku kemudian. Aku bangkit dari kursi dan melangkah ke pintu kaca hendak membukanya.

"Nggak sekalian kamu pastikan dulu pemesanan barangnya?" tanya Mas Ray begitu aku menyentuh pintu kaca.

Dia ini lupa waktu atau demensia sih?

"Mas, ini tu udah hampir jam 6. Supplier udah pada tutup. Besok aja, ku prosesnya," jawabku sembari menarik pintu kaca dan bergegas ke luar dari ruangan itu.

Kemudian aku membereskan meja kerjaku. Berkas-berkas yang masih akan ku kerjakan besok hari, ku letakkan di atas printer. Lalu aku juga memasukkan handphone, pouch tempat bedak dan charger ke dalam tas sebelum mematikan komputer.

Tak lama kemudian Mas Rayyan meletakkan map bening yang berisi PO spare part tadi di mejaku. Rupanya, aku lupa mengambil kembali ke mejaku.

"Ayo, ku antar pulang!" katanya.

"Mas, ke kosanku lebih cepat kalau jalan kaki," tolakku.

"Aku nggak keberatan mengantarmu jalan kaki. Tapi kita ke masjid dulu deh atau sholat di sini aja sekalian. Bentar lagi maghrib 'kan," katanya.

Itu artinya dia tidak mau ditolak. Apapun perintahnya, sang staff harus bilang iya.

- To Be Continue -

With Love


#ceritabersambung #merindukanpernikahan

Yuni Bint Saniro

Blogger wanita yang menyukai dunia menulis sejak SMA. Saat ini masih pemula. Tapi tidak masalah. Kelak ada masanya menjadi profesional. Semangat.

7 Komentar

Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.

  1. Waah lama kayanya gak update ini ya sempat ke skip sama cerita lain, aku pikir udah selesai. Ternyata ceritanya masih berliku nih... Senangnya mas Ray bos yang menjaga solatnha.

    BalasHapus
  2. Aku jadi ikut deg-degan nih endingnya gimana mas Rayyan ini hihi

    BalasHapus
  3. Hm jadi ada mbak Mega juga yaa...apa perannya ya?
    Mengapa juga mutasinya ke Palembang?
    Kenapa ga mutasi beda lantai aja

    Duh Ray dan Abi, jadi gimana ya

    BalasHapus
  4. Waw deh pnjng ceritanya..bs smpi bagian ke berapa?

    BalasHapus
  5. Beberapa kali saya gak ikut BW, ternyata kisah si Abi & Rayuan masih terus berlanjut :) Ketinggalan, nih. Baca ini tanpa baca yg sebelumnya membuat saya nebak2: mereka udah nikah belum, yak? As usual, Si Rayyan stay cool, hehe

    BalasHapus
  6. Ceritanya keren bikin penasaran. Dan hari ini aku maraton baca dari awal biar nyambung ama ceritanya. Teruskan kakakkkk

    BalasHapus
  7. Mm, mesti baca mundur kayaknya biar nyambung ceritanya. Btw, aku lebih fokus ke jobdesk Abi. Ohh, ternyata bagian ini disebut purchasing, toh. Ketauan katroknya aku, tuh hikss

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama

Artikel Terbaru di Yuni Bint Saniro