Credit to Pixabay.com |
Rayyan POV
Tak pernah terbayangkan olehku, akan menikah lagi. Dengan pilihan kedua yang begitu sempurna. Baiklah, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi baiknya, kami akan saling melengkapi. Ku harap begitu.
Dulu ku pikir, aku akan benar-benar terjebak masa lalu. Dulu ku kira, aku tak akan bisa mencintai selain dia. Namun, aku terlalu sombong menyimpulkan sesuatu yang tidak aku pahami.
Oh ayolah, masalah hati hanya Tuhan yang tahu. Dia yang kuasa membolak-balikkannya. Sebagai makhluk ciptaanNya, kamu hanya perlu meminta dan berusaha.
Tak terhitung berapa kali mama memaksa memintaku menikah di masa-masa mendudaku. Namun aku bergeming. Tidak ada yang cocok dulu alasanku.
Nyatanya, aku telah cukup lama memperhatikannya. Tiga tahun. Menjadikannya objek kemarahanku atas ketidakbecusan siapapun dalam bekerja. Apakah dia selalu menerima? Tidak juga. Sesekali jika dia sedang geram dia akan lebih ketus dariku.
"Mas, yang benar saja? Itu kan kesalahan team Palembang, kenapa jadi marahnya Sama Abi?", protesnya suatu ketika saat aku memakinya karena urusan penerimaan gudang transit yang tidak benar.
"Kalau kamu bener mengajari Bagus, dia tidak akan salah", bentakku.
Pasal satu : Bos selalu benar
Pasal dua : Kalau bos salah, maka kembali ke pasal satu
Dimana-mana karyawan sangat tahu peraturan itu. Sesekali dia mengerti dan hanya menunduk jika ku marahi. Namun, terkadang dia juga bisa melawan seperti itu.
"Mas Bagus 'kan orangnya seperti itu. Harusnya Mas Ray yang salah. Bosnya 'kan Mas", balas Abigail sengit.
Kala itu dia sama sekali tidak ingin mengalah. Dia menjadi lebih ketus dibandingku. Mengingatnya membuatku tersenyum geli.
Dia yang biasanya hanya menunduk memandangi notesnya, kala itu berani menatapku. Meski hanya sepintas lalu kemudian mengarahkan pandangannya ke tembok di belakangku.
Saat itu, aku berpikir apakah memang tembok itu lebih mempesona ketimbang wajahku? Namun belakangan aku menyadari satu hal. Dia hanya ingin menjaga pandangannya.
Dia adalah gadis sederhana dan selalu tahu apa yang dia mau. Gadis seperti itulah yang mampu menawan hatiku selama tiga tahun ini. Membuatku menyadari, perasaan yang ku labuhkan kepada seseorang saat lima tahun lalu tidak berarti apapun.
Selangkah lagi aku akan memilikinya. Tak lama lagi, mama akan berhenti merengek dengan permintaannya.
"Ray," panggil mama.
Karena terlalu lama merenung, aku melupakan bahwa kini aku sedang duduk di meja makan bersama mama untuk sarapan. Mama tengah menyodorkan setangkup roti tawar ke arahku. Aku menyadari, aku lebih banyak tersenyum akhir-akhir ini.
"Anak mama ganteng, akhir-akhir ini jadi banyak senyum. Seneng ya, Nak?", kata mama sembari mengoles selai coklat ke roti untuk beliau sendiri.
"Mama juga seneng 'kan?" Aku belik bertanya.
"Tentu saja", jawab mama.
Benar, tidak ada ibu yang tidak senang dengan kebahagiaan anaknya. Aku jadi geli dengan pertanyaanku sendiri.
Sesuai rencana, kami akan berangkat besok ke Surabaya beserta rombongan keluarga. Jika semua berjalan lancar, lusa kami akan mendatangi rumah Abigail untuk proses lamaran. Mengingat itu membuat jantungku berdetak hebat, seolah ingin keluar saja.
"Bu, Mas, ada tamu di luar", kata Mbok Darmi yang ku bayar untuk menemani mama sehari-hari. Dia hanya akan datang di pagi dan pulang sore hari ketika semua pekerjaan rumah beres.
Aku dan mama saling pandang. Pasalnya aku sama sekali tidak memiliki janji dengan siapapun. Ini akhir pekan. Abigail juga sudah kembali ke Surabaya kemarin dengan kereta.
"Cewek, Mas. Cantik pisan", tambah Mbok Darmi dengan raut wajah sumringah.
Cewek? Cantik? Jangan bilang itu dia!
"Mbok, sudah suruh dia masuk?", tanya mama dengan nada ketus. Kelihatan sekali mama tidak suka.
"Sudah, bu. Si mbak bilang mau ketemu sama Mas Ray", jawab Mbok Darmi.
Mama menatapku tajam. Meski tidak ada omelan yang menyertai, tatapan mama lebih membunuhku.
"Kenapa mama liatin Ray begitu?", tanyaku.
"Siapa cewek yang dibilang Mbok Darmi?", tanya mama tajam.
"Ray mana tahu, Ma", jawabku.
Bagaimana mungkin aku tahu, sedangkan aku bersama mama di meja makan. Sementara perempuan itu di luar sana. Jangan bilang mama berpikir aku akan bermain-main dengan wanita lain di saat aku akan memiliki wanitaku sendiri. Siapa yang lebih baik dari Abigail? Mungkin ada. Tapi apakah aku mau mengambil resiko melepaskan wanita sebaik dia hanya untuk mencari yang lebih? Tentu tidak akan. Memang siapa yang akan menerima duda sepertiku?
Banyak, Ray. Kamu itu ganteng dan mapan. Wanita mana yang akan menolakmu.
Pendapat mama tidak bisa dijadikan pegangan. Seorang ibu tentu akan selalu membanggakan anak-anaknya. Tak perduli sejelek apapun mereka.
"Ray, temui dia dulu", pamitku setelah meminum segelas susu coklat hangat. Aku tidak keberatan dengan kopi. Tapi kalau disuruh memilih tentu aku akan lebih memilih coklat.
"Jangan main-main kamu ya Ray!", ancam mama.
Tanpa memperdulikan ancaman mama, aku melangkah menuju ruang tamu untuk menemui siapa yang dimaksud oleh Mbok Darmi.
==========
Dia di sini. Wanita yang dulu pernah ku jadikan ratu di rumah ini, selain mamaku, hari ini berada di sini lagi. Duduk di ruang tamu dengan dress biru tua selutut tanpa lengan. Menunduk menatap keramik yang sejak dulu tidak pernah berubah. Putih dan selalu tampak bersih. Terima kasih pada Mbok Dharmi yang selalu membersihkannya.
Aku mendekat. Mungkin karena mendengar langkah kakiku, dia mendongak. Melempariku dengan senyuman yang dulu pernah ku pikir adalah senyuman paling manis di dunia ini.
Aku duduk di kursi yang ada didepannya. Tanpa sepatah kata. Hanya tatapan tajam yang ku tujukan padanya, berharap dia ketakutan atau apapun.
Namun, dia tetaplah Ayu. Seorang wanita yang tidak pernah mau menyerah selagi mengharapkan sesuatu. Kali ini dia ingin kembali padaku. Oh, tenggelam saja kau ke samudera hindia sana.
Dia menyodorkan amplop coklat berukuran kertas A4 ke hadapanku. Aku hanya melihatnya sekilas. Kemudian kembali acuh. Aku sudah tidak akan perduli pada hal-hal yang berhubungan dengannya. Tidak lagi.
"Kamu nggak mau cek isi amplop itu, Ray?", tanya Ayu setelah beberapa saat lamanya dia tak ku perdulikan.
"Aku sama sekali nggak tertarik, yu", jawabku acuh.
"Itu surat ceraiku, Ray", katanya menjelaskan. "Aku serius ingin kembali padamu", imbuhnya.
Surat cerai? Wanita ini benar-benar ... apa sebenarnya yang dia pikirkan?
"Kamu benar-benar bodoh, Yu", umpatku, "harus berapa kali aku katakan, aku sudah akan melamar Abigail. Kita sudah tidak bisa kembali bersama", jelasku.
"Kamu bohong, Ray. Jelas-jelas kamu masih perduli padaku. Bahkan kamu juga perduli pada anakku. Padahal dia bukan darah dagingmu", ayu menyangkal.
Sial. Hanya karena aku membantunya dan dia salah paham. Apa saat ini kita sudah tidak bisa perduli pada teman? Teringat kembali omelan Abigail kala dia baru bertemu dengan Ayu.
"Mantan itu nggak bisa ya jadi teman. Apalagi yang model mantan istri Mas", omel Abigail.
"Yu, kamu salah paham. Saat itu aku hanya perduli, karena kamu adalah temanku. Setidaknya aku pikir kita berteman", kataku memulai penjelasan. "Saat ini, aku mencintai Abigail dan aku akan menikahinya", lanjutku.
Raut wajah Ayu masih enggan menerima. Namun kali ini ku biarkan saja dia dengan pemikirannya. Aku tidak lagi memikirkan bagaimana perasaan dia.
"Aku tidak punya perasaan apapun lagi terhadapmu. Sedikitpun tidak", ujarku.
Ku lihat mata Ayu mulai berkaca-kaca. Pandangannya meredup, tapi aku yakin dia baik-baik saja. Dia bukan wanita yang akan mudah putus asa. Dia pasti akan dengan mudah menemukan pria kaya yang bisa dia hinggapi lagi. Yah, anggap saja seperti itu.
Mama yang sejak tadi membiarkan kami menyelesaikan masalah ini berdua, mulai mendekat. Duduk di samping Ayu dan memegang erat tangannya, seolah memberi tahu bahwa semua akan baik-baik saja.
"Aku sudah bercerai dan nggak punya siapa-siapa lagi, Ma. Cuma Rayyan satu-satunya rumahku", ucap Ayu lirih.
Lihatlah. Betapa dia tidak pernah bersyukur. Dia sudah memiliki anak yang lucu dan menggemaskan. Dia bahkan masih memiliki orang tua yang lengkap, yang selalu mendukungnya. Dan sekarang dia mengatakan kalau dia tidak memiliki siapapun lagi.
"Kamu salah, Nak. Kamu sudah punya Alif di hidupmu. Orang tua yang sangat menyayangimu. Kamu punya segalanya", jelas mama.
"Tapi, Ma ...", baru saja Ayu ingin membantah, mama terlebih dahulu memotong pembicaraannya.
"Jodoh sudah ada yang mengatur. Dulu mungkin Rayyan pernah ada di hidupmu, tapi lihatlah. Kalian berpisah bukan?", ujar mama. "Kali ini Rayyan sudah akan memulai kehidupannya yang baru. Tuhan sudah mengarahkan hati Rayyan pada wanita lain, Nak. Jadi, biarkan dia berbahagia", lanjut mama.
"Lalu, bagaimana denganku, Ma? Aku sudah bercerai dengan suamiku hanya untuk kembali pulang pada Rayyan", katanya tak terima.
Rasanya mama sudah mulai geram dengan tingkah Ayu. Namun, beliau terlihat menahan amarahnya. Ini harus diakhiri.
"Kamu bisa mulai hidupmu dengan Alif, Yu. Mantan suamimu nggak akan lepas tangan begitu saja dengan masa depan Alif. Kelak, jika masa iddahmu telah lewat, kamu bisa menemukan lelaki baik yang akan bersedia menikahimu", tuturku.
"Tapi aku maunya sama kamu, Ray", keukeuh Ayu.
Ku lihat raut wajah mama mengeras. Beliau marah. Tentu saja, setelah dulu aku disakiti, kali ini dia ingin kembali padaku saat aku akan memulai hidup baru. Oh, jangan harap.
"Rayyan udah nggak cinta sama kamu. Hanya karena sekarang Rayyan sudah punya segalanya, kamu jadi nggak tahu malu begini. Pergi kamu dari sini. Dan jangan pernah kamu berani temui Rayyan lagi", bentak mama sembari menyeret Ayu ke luar rumah.
"Ma ...", rengek Ayu.
"Mama bersyukur dulu kamu menceraikan anak mama", kata mama.
Kemudian mama menarikku masuk ke dalam rumah dan membanting pintu tepat di hadapan Ayu. Apakah aku iba melihatnya? Iya. Namun, aku mencoba tidak bergeming dengan segala kemalangannya. Aku tidak akan mengambil resiko dia akan salah paham lagi dengan semua keperdulianku.
"Coba dari awal kamu tegas dan menjauhi dia, Ray. Dia nggak akan ngelunjak begini", kali ini aku yang jadi korban omelan mama.
Tak mengapa. Yang penting, kali ini aku bebas. Setidaknya, ku harap Ayu akan berpikir dua kali untuk kembali mengganggu hidupku. Dia tidak akan punya nyali jika berurusan dengan mama. Bukan begitu?
To Be Continue
Baca juga
Merindukan Pernikahan - Sembilan Belas
Merindukan Pernikahan - Delapan Belas
Merindukan Pernikahan - Tujuh Belas
Tak pernah terbayangkan olehku, akan menikah lagi. Dengan pilihan kedua yang begitu sempurna. Baiklah, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi baiknya, kami akan saling melengkapi. Ku harap begitu.
Dulu ku pikir, aku akan benar-benar terjebak masa lalu. Dulu ku kira, aku tak akan bisa mencintai selain dia. Namun, aku terlalu sombong menyimpulkan sesuatu yang tidak aku pahami.
Oh ayolah, masalah hati hanya Tuhan yang tahu. Dia yang kuasa membolak-balikkannya. Sebagai makhluk ciptaanNya, kamu hanya perlu meminta dan berusaha.
Tak terhitung berapa kali mama memaksa memintaku menikah di masa-masa mendudaku. Namun aku bergeming. Tidak ada yang cocok dulu alasanku.
Nyatanya, aku telah cukup lama memperhatikannya. Tiga tahun. Menjadikannya objek kemarahanku atas ketidakbecusan siapapun dalam bekerja. Apakah dia selalu menerima? Tidak juga. Sesekali jika dia sedang geram dia akan lebih ketus dariku.
"Mas, yang benar saja? Itu kan kesalahan team Palembang, kenapa jadi marahnya Sama Abi?", protesnya suatu ketika saat aku memakinya karena urusan penerimaan gudang transit yang tidak benar.
"Kalau kamu bener mengajari Bagus, dia tidak akan salah", bentakku.
Pasal satu : Bos selalu benar
Pasal dua : Kalau bos salah, maka kembali ke pasal satu
Dimana-mana karyawan sangat tahu peraturan itu. Sesekali dia mengerti dan hanya menunduk jika ku marahi. Namun, terkadang dia juga bisa melawan seperti itu.
"Mas Bagus 'kan orangnya seperti itu. Harusnya Mas Ray yang salah. Bosnya 'kan Mas", balas Abigail sengit.
Kala itu dia sama sekali tidak ingin mengalah. Dia menjadi lebih ketus dibandingku. Mengingatnya membuatku tersenyum geli.
Dia yang biasanya hanya menunduk memandangi notesnya, kala itu berani menatapku. Meski hanya sepintas lalu kemudian mengarahkan pandangannya ke tembok di belakangku.
Saat itu, aku berpikir apakah memang tembok itu lebih mempesona ketimbang wajahku? Namun belakangan aku menyadari satu hal. Dia hanya ingin menjaga pandangannya.
Dia adalah gadis sederhana dan selalu tahu apa yang dia mau. Gadis seperti itulah yang mampu menawan hatiku selama tiga tahun ini. Membuatku menyadari, perasaan yang ku labuhkan kepada seseorang saat lima tahun lalu tidak berarti apapun.
Selangkah lagi aku akan memilikinya. Tak lama lagi, mama akan berhenti merengek dengan permintaannya.
"Ray," panggil mama.
Karena terlalu lama merenung, aku melupakan bahwa kini aku sedang duduk di meja makan bersama mama untuk sarapan. Mama tengah menyodorkan setangkup roti tawar ke arahku. Aku menyadari, aku lebih banyak tersenyum akhir-akhir ini.
"Anak mama ganteng, akhir-akhir ini jadi banyak senyum. Seneng ya, Nak?", kata mama sembari mengoles selai coklat ke roti untuk beliau sendiri.
"Mama juga seneng 'kan?" Aku belik bertanya.
"Tentu saja", jawab mama.
Benar, tidak ada ibu yang tidak senang dengan kebahagiaan anaknya. Aku jadi geli dengan pertanyaanku sendiri.
Sesuai rencana, kami akan berangkat besok ke Surabaya beserta rombongan keluarga. Jika semua berjalan lancar, lusa kami akan mendatangi rumah Abigail untuk proses lamaran. Mengingat itu membuat jantungku berdetak hebat, seolah ingin keluar saja.
"Bu, Mas, ada tamu di luar", kata Mbok Darmi yang ku bayar untuk menemani mama sehari-hari. Dia hanya akan datang di pagi dan pulang sore hari ketika semua pekerjaan rumah beres.
Aku dan mama saling pandang. Pasalnya aku sama sekali tidak memiliki janji dengan siapapun. Ini akhir pekan. Abigail juga sudah kembali ke Surabaya kemarin dengan kereta.
"Cewek, Mas. Cantik pisan", tambah Mbok Darmi dengan raut wajah sumringah.
Cewek? Cantik? Jangan bilang itu dia!
"Mbok, sudah suruh dia masuk?", tanya mama dengan nada ketus. Kelihatan sekali mama tidak suka.
"Sudah, bu. Si mbak bilang mau ketemu sama Mas Ray", jawab Mbok Darmi.
Mama menatapku tajam. Meski tidak ada omelan yang menyertai, tatapan mama lebih membunuhku.
"Kenapa mama liatin Ray begitu?", tanyaku.
"Siapa cewek yang dibilang Mbok Darmi?", tanya mama tajam.
"Ray mana tahu, Ma", jawabku.
Bagaimana mungkin aku tahu, sedangkan aku bersama mama di meja makan. Sementara perempuan itu di luar sana. Jangan bilang mama berpikir aku akan bermain-main dengan wanita lain di saat aku akan memiliki wanitaku sendiri. Siapa yang lebih baik dari Abigail? Mungkin ada. Tapi apakah aku mau mengambil resiko melepaskan wanita sebaik dia hanya untuk mencari yang lebih? Tentu tidak akan. Memang siapa yang akan menerima duda sepertiku?
Banyak, Ray. Kamu itu ganteng dan mapan. Wanita mana yang akan menolakmu.
Pendapat mama tidak bisa dijadikan pegangan. Seorang ibu tentu akan selalu membanggakan anak-anaknya. Tak perduli sejelek apapun mereka.
"Ray, temui dia dulu", pamitku setelah meminum segelas susu coklat hangat. Aku tidak keberatan dengan kopi. Tapi kalau disuruh memilih tentu aku akan lebih memilih coklat.
"Jangan main-main kamu ya Ray!", ancam mama.
Tanpa memperdulikan ancaman mama, aku melangkah menuju ruang tamu untuk menemui siapa yang dimaksud oleh Mbok Darmi.
==========
Dia di sini. Wanita yang dulu pernah ku jadikan ratu di rumah ini, selain mamaku, hari ini berada di sini lagi. Duduk di ruang tamu dengan dress biru tua selutut tanpa lengan. Menunduk menatap keramik yang sejak dulu tidak pernah berubah. Putih dan selalu tampak bersih. Terima kasih pada Mbok Dharmi yang selalu membersihkannya.
Aku mendekat. Mungkin karena mendengar langkah kakiku, dia mendongak. Melempariku dengan senyuman yang dulu pernah ku pikir adalah senyuman paling manis di dunia ini.
Aku duduk di kursi yang ada didepannya. Tanpa sepatah kata. Hanya tatapan tajam yang ku tujukan padanya, berharap dia ketakutan atau apapun.
Namun, dia tetaplah Ayu. Seorang wanita yang tidak pernah mau menyerah selagi mengharapkan sesuatu. Kali ini dia ingin kembali padaku. Oh, tenggelam saja kau ke samudera hindia sana.
Dia menyodorkan amplop coklat berukuran kertas A4 ke hadapanku. Aku hanya melihatnya sekilas. Kemudian kembali acuh. Aku sudah tidak akan perduli pada hal-hal yang berhubungan dengannya. Tidak lagi.
"Kamu nggak mau cek isi amplop itu, Ray?", tanya Ayu setelah beberapa saat lamanya dia tak ku perdulikan.
"Aku sama sekali nggak tertarik, yu", jawabku acuh.
"Itu surat ceraiku, Ray", katanya menjelaskan. "Aku serius ingin kembali padamu", imbuhnya.
Surat cerai? Wanita ini benar-benar ... apa sebenarnya yang dia pikirkan?
"Kamu benar-benar bodoh, Yu", umpatku, "harus berapa kali aku katakan, aku sudah akan melamar Abigail. Kita sudah tidak bisa kembali bersama", jelasku.
"Kamu bohong, Ray. Jelas-jelas kamu masih perduli padaku. Bahkan kamu juga perduli pada anakku. Padahal dia bukan darah dagingmu", ayu menyangkal.
Sial. Hanya karena aku membantunya dan dia salah paham. Apa saat ini kita sudah tidak bisa perduli pada teman? Teringat kembali omelan Abigail kala dia baru bertemu dengan Ayu.
"Mantan itu nggak bisa ya jadi teman. Apalagi yang model mantan istri Mas", omel Abigail.
"Yu, kamu salah paham. Saat itu aku hanya perduli, karena kamu adalah temanku. Setidaknya aku pikir kita berteman", kataku memulai penjelasan. "Saat ini, aku mencintai Abigail dan aku akan menikahinya", lanjutku.
Raut wajah Ayu masih enggan menerima. Namun kali ini ku biarkan saja dia dengan pemikirannya. Aku tidak lagi memikirkan bagaimana perasaan dia.
"Aku tidak punya perasaan apapun lagi terhadapmu. Sedikitpun tidak", ujarku.
Ku lihat mata Ayu mulai berkaca-kaca. Pandangannya meredup, tapi aku yakin dia baik-baik saja. Dia bukan wanita yang akan mudah putus asa. Dia pasti akan dengan mudah menemukan pria kaya yang bisa dia hinggapi lagi. Yah, anggap saja seperti itu.
Mama yang sejak tadi membiarkan kami menyelesaikan masalah ini berdua, mulai mendekat. Duduk di samping Ayu dan memegang erat tangannya, seolah memberi tahu bahwa semua akan baik-baik saja.
"Aku sudah bercerai dan nggak punya siapa-siapa lagi, Ma. Cuma Rayyan satu-satunya rumahku", ucap Ayu lirih.
Lihatlah. Betapa dia tidak pernah bersyukur. Dia sudah memiliki anak yang lucu dan menggemaskan. Dia bahkan masih memiliki orang tua yang lengkap, yang selalu mendukungnya. Dan sekarang dia mengatakan kalau dia tidak memiliki siapapun lagi.
"Kamu salah, Nak. Kamu sudah punya Alif di hidupmu. Orang tua yang sangat menyayangimu. Kamu punya segalanya", jelas mama.
"Tapi, Ma ...", baru saja Ayu ingin membantah, mama terlebih dahulu memotong pembicaraannya.
"Jodoh sudah ada yang mengatur. Dulu mungkin Rayyan pernah ada di hidupmu, tapi lihatlah. Kalian berpisah bukan?", ujar mama. "Kali ini Rayyan sudah akan memulai kehidupannya yang baru. Tuhan sudah mengarahkan hati Rayyan pada wanita lain, Nak. Jadi, biarkan dia berbahagia", lanjut mama.
"Lalu, bagaimana denganku, Ma? Aku sudah bercerai dengan suamiku hanya untuk kembali pulang pada Rayyan", katanya tak terima.
Rasanya mama sudah mulai geram dengan tingkah Ayu. Namun, beliau terlihat menahan amarahnya. Ini harus diakhiri.
"Kamu bisa mulai hidupmu dengan Alif, Yu. Mantan suamimu nggak akan lepas tangan begitu saja dengan masa depan Alif. Kelak, jika masa iddahmu telah lewat, kamu bisa menemukan lelaki baik yang akan bersedia menikahimu", tuturku.
"Tapi aku maunya sama kamu, Ray", keukeuh Ayu.
Ku lihat raut wajah mama mengeras. Beliau marah. Tentu saja, setelah dulu aku disakiti, kali ini dia ingin kembali padaku saat aku akan memulai hidup baru. Oh, jangan harap.
"Rayyan udah nggak cinta sama kamu. Hanya karena sekarang Rayyan sudah punya segalanya, kamu jadi nggak tahu malu begini. Pergi kamu dari sini. Dan jangan pernah kamu berani temui Rayyan lagi", bentak mama sembari menyeret Ayu ke luar rumah.
"Ma ...", rengek Ayu.
"Mama bersyukur dulu kamu menceraikan anak mama", kata mama.
Kemudian mama menarikku masuk ke dalam rumah dan membanting pintu tepat di hadapan Ayu. Apakah aku iba melihatnya? Iya. Namun, aku mencoba tidak bergeming dengan segala kemalangannya. Aku tidak akan mengambil resiko dia akan salah paham lagi dengan semua keperdulianku.
"Coba dari awal kamu tegas dan menjauhi dia, Ray. Dia nggak akan ngelunjak begini", kali ini aku yang jadi korban omelan mama.
Tak mengapa. Yang penting, kali ini aku bebas. Setidaknya, ku harap Ayu akan berpikir dua kali untuk kembali mengganggu hidupku. Dia tidak akan punya nyali jika berurusan dengan mama. Bukan begitu?
To Be Continue
With Love
wah ada lanjutannya toh
BalasHapusAda kakak. Selalu diposting disini kok semua ceritanya. Hehehehe
Hapus