Merindukan Pernikahan - Sepuluh


Baca Part Sebelumnya Merindukan Pernikahan - Sembilan

Hubunganku dengan Abigail di kantor masih tidak ada perubahan setelah pertunangan kami ditetapkan dua bulan lagi. Dia masih selalu menunduk fokus dengan notenya saat ku panggil. Dan aku, tetap menjaga profesionalitas kerja.

Apakah aneh? Tidak sama sekali. Dengan begini kami bisa lebih menjaga hubungan kami. Setidaknya menjaga diriku sendiri dari hal - hal yang tidak kami kehendaki. Maksudku belum saatnya untuk dilakukan. Aku masih bisa menunggu.

Seminggu setelah aku kembali dari Surabaya, saat rutinitas telah kembali aku jalani, sebuah hal tak terduga terjadi. Whatsappku menerima chat dari seorang yang telah lama tidak ku temui. Terakhir dua tahun lalu saat aku menggendong putra pertamanya. Mantan istriku. Ayu.

Ayu : [Ray, kamu ada waktu?]
Ayu : [Bisakah kita ketemu?]



Permintaan yang sulit aku abaikan. Memang benar dulu aku mencintainya? Apakah sampai sekarang perasaan itu masih sama? Lalu bagaimana dengan perasaanku pada Abigail?

Dan disinilah aku. Menunggunya di starbuck citraland mall. Aku sengaja memilih tempat yang ramai. Menghindari fitnah yang mungkin terjadi ketika bertemu dengan istri orang. Meski aku tahu, memilih menemuinya tanpa membawa serta Abigail itu juga salah.

Biar bagaimanapun aku telah memilih dia. Seharusnya aku memberitahu dia perihal pertemuan ini. Sejenak aku berpikir untuk memberi kabar pada calonku, namun sesosok tubuh ringkih membawa balita berusia dua tahun telah berdiri di hadapanku. Membuatku melupakan niatan awalku menghubungi Abi.

"Hay Ray, maaf ya. Aku telat. Macet", ucap Ayu saat menjabat tanganku dan duduk di hadapanku.

"Nggak masalah, Yu. Ada apa?", tanyaku to the point.

"Kamu masih belum berubah, Ray. Nggak suka basa - basi", ungkap Ayu.

Dan kamu masih secantik dulu, Yu.

"Jadi kamu sedang liburan disini? Suamimu mana?", tanyaku. Tidak ada lagi perih yang terasa saat bertanya keberadaan suaminya. Tidak seperti dulu.

Wow, bukankah ini kemajuan? Apakah ini berarti aku tidak lagi menyimpan rasa pada mantan istriku ini? Yah, benar. Aku sudah memilih rumah yang akan ku tuju. Bukan lagi masa lalu. Tapi masa depan bersama Abigail. Sudah seharusnya begitu.

Namun yang ku saksikan selanjutnya adalah wajah murung Ayu. Dia menunduk dalam. Tak dihiraukan tangan mungil anaknya yang mencoba menggapai - gapai wajahnya. Apa ada yang salah dengannya?

"Kamu kenapa?", tanyaku.

Dia mendongak menatapku dengan senyuman yang sama seperti dulu. Senyum di hari ketuk palu keputusan perceraian kami. Tidak. Senyum ini lebih sendu.

"Aku baik - baik aja, Ray. Suamiku masih di Jakarta. Biasalah. Banyak kesibukan", jawabnya.

Mataku memicing. Tidak. Aku bukan penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya. Hanya saja aku merasa seperti ada sesuatu dalam hidupnya. Tapi biarlah. Itu urusan dia dan keluarganya. Aku sudah menjadi orang asing baginya. Dan begitulah aku akan bersikap.

"Aku hanya kangen mama, Ray. Kamu masih aja curigaan", imbuhnya.

Aku tertawa. Selanjutnya kami sudah asyik bermain dengan balita lelaki berusia dua tahun. Alif.

Mungkin kami akan terlihat seperti keluarga oleh kebanyakan mata yang memandang. Tapi biarlah. Toh aku hanya mencoba menyenangkan anak dari temanku. Hanya itu.

🌸🌸🌸🌸🌸

Aku tiba di rumah pukul sebelas malam. Tadi aku mengantar Ayu dan putranya sampai ke rumah orang tuanya. Mantan mertuaku itu masih sangat baik padaku. Masih sangat ramah.

Ah tentu saja begitu. Bukan aku yang meninggalkan putri mereka.

Nah saat ini ajaibnya mama masih duduk di depan tivi. Sama sekali belum mengantuk. Kebiasaan mama semenjak kepergiaan papa, setelah isya' beliau tidak akan keluar dari kamar lagi. Mengaji. Menurut beliau hanya itu yang bisa mendekatkan beliau pada papa.

Dan sekarang. Malam selarut ini beliau masih segar. Apa beliau sedang menungguku? Ada apa?

"Darimana kamu Ray?", tanya mama tajam.

Tidak pernah mama menggunakan nada tajam seperti ini ketika aku pulang larut.

"Ray habis jalan sama teman, Ma", jawabku mencoba menepis curiga.

"Teman yang bagaimana yang membuatmu melupakan janji?", tanya mama lagi masih dengan nada setajam silet.

Janji? Dengan siapa? Aku pasti akan ingat untuk membatalkan janji bertemu dengan siapapun jika aku memang punya. Tapi satu - satunya hal yang ku lupakan tadi sore hanya menghubungi Abigail untuk memberitahunya tentang pertemuanku dengan mantan istriku. Dan itu akan ku lakukan besok pagi karena malam selarut ini pasti dia sudah terlelap.

"Ray nggak melupakan janji dengan siapapun, Ma", jawabku lembut. Kami telah sama - sama duduk di depan tivi. Aku memilih tempat di sisi kanan mama.

Raut wajah mama melembut. Rupanya beliau hanya khawatir karena aku pulang terlalu larut. Padahal biasanya beliau tidak begini.

Selarut apapun aku sampai rumah mama tidak akan menungguiku begini. Bahkan ketika aku pulang pagi sekalipun. Lagi pula, mama sudah terlalu percaya kalau aku tidak akan melalukan hal - hal yang akan mempermalukan keluarga.

"Tadi Abi telpon mama. Mama pikir kamu melupakan janji sama dia. Syukurlah kalau ternyata nggak", ujar mama.

"Abi telpon mama?", tanyaku yang hanya dijawab dengan anggukan oleh mama. "Dia cari aku? Kok nggak telpon aku langsung?", cecarku.

"Nggak kok. Dia bukannya cari kamu. Abi cuma nanyain mama lagi dimana?", jawab mama.

"Ya sudah kamu istirahat ya, Nak", lanjut mama.

Beliau beranjak. Tentu mama sudah ingin bergelung nyaman di tempat tidurnya. Besok pagi - pagi sekali beliau akan kembali melakukan rutinitas hariannya. Menyiapkan keperluanku, sarapanku sampai kelak Abigail menggantikan semuanya.

Tapi dia tadi menelpon mama. Tumben sekali dia begitu. Tidak biasanya. Ah mungkin dia hanya ingin mengakrabkan diri pada mama.

Rasanya ingin sekali menelponnya. Sekedar bertanya kabar meski aku baru berpisah darinya beberapa jam lalu. Juga menenangkan hatiku. Menjagaku kembali pada kenyataan. Mengantarku kembali pulang padanya. Intinya aku hanya ingin mendengar suaranya.

Sayangnya malam telah terlalu larut. Dia tidak akan menyukai ideku mengganggu waktu istirahatnya. Jadi kuputuskan hanya mengirimkan sebuat pesan online.

Rayyan : [Bi, tadi kata mama kamu telpon?]
Rayyan : [Kenapa tidak telpon aku saja?]


Itu cukup. Saat terbangun dan membaca pesanku dia pasti akan menjelaskan maksud dan tujuannya menelpon mama. Yang jelas itu pasti bukan urusan pekerjaan. Kalau urusan pekerjaan dia pasti akan langsung menghubungi nomerku. Selama ini dia seperti itu.

Kini saatnya aku mengistarahkan diri. Mandi dan naik ke atas tempat tidur king size yang terasa semakin luas saja untuk ku tempati sendirian.

Sabar Ray. Tak lama lagi sudah ada seseorang yang kan menemanimu tidur. Kamu tidak akan sendirian lagi, bisikku sebelum merebahkan kepalaku di bantal dengan nyaman.

Sebuah notifikasi pesan online masuk ke ponselku. Sejenak ku pikir Abigail sudah membalas pesanku. Aku sudah berencana langsung menelponnya sebelum membaca pengirim pesan itu yang ternyata bukan dia. Tapi Ayu.

Ayu : [Terima kasih sudah menemani dan mengantarku pulang, Ray.]

Aku tidak berniat membalasnya. Ku matikan ponselku dan tak lama kemudian aku telah lelap dalam tidurku.

- To Be Continue -

With Love
Yuni Bint Saniro

Blogger wanita yang menyukai dunia menulis sejak SMA. Saat ini masih pemula. Tapi tidak masalah. Kelak ada masanya menjadi profesional. Semangat.

Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama

Artikel Terbaru di Yuni Bint Saniro