Arti Sahabat - Dia yang Mudah Dibodohi

Sahabat yang baik adalah sahabat yang akan menasehati, melindungi dan tulus mengasihi.


Naila baru saja tiba di rumah Laras. Rumah sederhana yang bertetangga dengan sawah di samping kanannya. Seperti rumah-rumah di Madura pada umumnya, rumah Laras juga berkonsep tanian lanjheng atau pekarangan panjang dalam Bahasa Indonesianya. Di mana di ujung pekarangan adalah musholla dan rumah-rumah akan dibangun berderet di sisi kanan dan kiri musholla, menyisakan halaman yang luas di tengahnya.

Sumber : Lontarmadura.com

“Kancana Laras, Ning?(1)” sapa seorang wanita paruh baya. Mereka selalu menyapanya dengan sapaan Mbah Inik yang berasal dari kata mbah binik(2).

“Enggi. Laras ka emmah, Mba?(3)” Tanya Naila sopan menghampiri Mbah Inik yang duduk di musholla.

“Mareh nelpon, ning? Laras keloar, gellek lah(4),” jawab Mbah inik.

Selanjutnya Naila berbincang-bincang dengan Mbah Inik membahas mengenai apa saja, terutama mengenai pekerjaan. Mbah Inik menceritakan keresahannya mengenai Laras yang tak kunjung mendapat pekerjaan tetap. Padahal menurut Mbah, dia sudah lulus Perguruan Tinggi Negeri. Seharusnya sudah bekerja kantoran seperti orang lain, bukannya kesana-kemari tidak jelas.

Baca juga kisah Si Pendiam dan Si Cerewet


Andai saja Mbak Inik tahu betapa berat perjuangan Laras untuk kemaslahatan para petani di desanya, beliau tidak akan seresah itu. Namun, apa mau dikata. Laras pun enggan menjelaskan bagaimana tanggung jawab yang dia emban selaku ketua kelompok tani di desanya.

“Buat apa, Nai? Mereka nggak akan perduli. Mereka cuma perduli kalau pupuk bantuan pemerintah sudah datang dan mereka termasuk dalam salah satu nama yang ada di daftar penerima bantuan pupuk. Selebihnya, mereka bodo amat,” omel Laras saat ditanya mengapa dia tidak menjelaskan kepada keluarganya bahwa ketua kelompok tani juga sebuah pekerjaan yang tidak ringan beban tanggung jawabnya.

Begitulah orang desa. Mereka berpikir bahwa orang yang bekerja adalah orang yang selalu berpakaian rapi, berangkat pagi hari dan pulang sore hari. Selain itu, mereka harus mempunyai penghasilan tetap setiap bulannya. Tanpa semua itu, cuma berarti satu hal. Pengangguran. Dan begitulah kata yang disematkan keluarga Laras padanya.

“Gebey apah sekola gih-tenggih mun de-padeh tak andik lakoh, Ras?5” begitu ejekan para paman dan bibi Laras saat kebetulan Naila dan Ara berkunjung ke rumahnya.

Beruntungnya, Laras adalah orang yang cuek. Dia tidak pernah menanggapi semua ejekan itu.

Tak lama kemudian, Laras datang dengan sepeda motor Supra tua. Naila mengernyit heran. Pasalnya motor milik Laras adalah Honda Beat bukan Supra. Dia juga melihat raut wajah kecewa Laras yang buru-buru diganti dengan senyum begitu melihat motor Honda Vario terparkir rapi di halaman rumah.

“Deri dimma beih ben, Ras. Kancana iyak deteng begellek lah(5),” omel Mbah Inik.

Namanya juga orang sepuh, omelan sudah biasa terdengar dari Mbak Inik. Laras tidak pernah menanggapi. Dia hanya akan mendengarkan sampai omelan mbahnya mereda dan mengangguk seolah patuh sebelum masuk ke dalam rumah. Setelah berpamitan pada Mbah Inik, Naila mengikuti Laras.

==========

Laras menghempaskan tubuhnya di tempat tidur, begitu juga dengan Naila. Mereka sama-sama memandang langit-langit kamar Laras. Sebenarnya tidak ada yang menarik. Tidak ada taburan bintang meski hanya stiker atau apapun di sana. Masing-masing larut dalam pemikirannya sendiri-sendiri.

“Itu motor siapa, Ras? Bukannya motormu Honda Beat ya?” tanya Naila memecah keheningan.

“Motor Sultan,” jawab Laras pelan.

“Kemarin pinjem duit, hari ini pinjem motor, besok giliran apa lagi?” omel Naila.

Bukan sekali-dua kali, Laras bercerita mengenai Sultan pada Naila dan Ara. Sultan yang begitu sholeh, Sultan yang suka perhatian padanya, Sultan yang begini, Sultan yang begitu. Laras seolah dibutakan dengan pesona Sultan yang begitu charming menurutnya.

“Dia ‘kan mau ke Surabaya. Motornya kan bodong, Nai. Makanya pinjem punyaku dulu,” jawab Laras.

“Memang temannya nggak ada yang bisa ngasih dia pinjeman motor. Kalau nggak ada, naik angkot juga bisa,” omel Naila.

“Habis waktu di jalan dong kalau naik angkot, Nai.”

“Terserah, Ras. Kalau saja Ara ada di sini, dia pasti maki-maki kamu lagi. Memang uang yang dipinjam kemarin sudah dikembalikan?” tanya Naila lagi.

“Belum.”

Naila gemas sekali pada tingkah laku sahabatnya ini. Dia begitu mudah meminjamkan sesuatu pada lelaki yang dia kagumi. Dia bahkan tidak memperdulikan kenyataan bahwa dia juga sangat membutuhkan uang itu. Bagaimana tidak? Laras hanya tinggal bersama ayahnya yang sudah sepuh, yang bahkan untuk bekerja sudah tidak sanggup lagi. Dengan kata lain, Laras sudah tidak punya tulang punggung untuk memberinya nafkah. Dia bahkan harus mencari nafkahnya sendiri dan ayahnya yang sudah renta.

Orang lain mungkin tidak melihat usaha keras Laras selama ini. Apa saja yang dia kerjakan ketika semua saudara mengejeknya hanya bisa keluyuran tidak jelas. Tapi sebagai sahabat, Naila dan Ara tentu tidak buta.

“Kamu memberi segalanya pada Sultan seolah kamu yakin saja Sultan akan menikahimu, Ras,” sindir Naila.

Laras hanya diam tidak menyahut. Pikirannya berkelana entah kemana. Dia memang dekat dengan Sultan. Seorang guru di tempatnya mengajar di madrasah sore hari. Lelaki itu selalu saja menghampiri Laras saat membutuhkan sesuatu. Berbicara manis saat ingin meminjam uang dan sebagainya. Namun, menghilang begitu kepentingannya sudah terselesaikan. Benar-benar tipe lelaki yang tidak bisa dipercaya.

Baca juga kisah Dia yang Ingin Diet


Ara dan Naila telah berulang kali memperingatkan Laras mengenai sikap Sultan. Namun dia tetap tidak bergeming. Dia masih saja memuja dan memuji Sultan terlepas dari apapun yang lelaki itu perbuat.

“Nggak ada ceritanya pria meminjam uang wanita ya, Ras. Memang segitu nggak punya teman, dia sampai harus pinjem sama kamu,” omel Ara waktu itu.

“Ya ‘kan aku punya uang, Ra. Apa salahnya ngasih dia pinjaman?” bela Laras.

“Nggak ada salahnya sih, Ras. Cuma kamu mesti ikhlas aja, dia nggak akan mau mengembalikan uangmu. Pegang kata-kataku,” Ara menegaskan.

Di lain kesempatan, Laras akan menceritakan betapa dia bahagia sudah ditelpon berjam-jam oleh Sultan. Mereka bercerita banyak hal, tetapi tak ada sedikit pun perbincangan yang mengarah ke masa depan mereka. Hal itu membuat Laras bertanya-tanya. Dan kepada siapa lagi dia akan menanyakan kegundahan hatinya, kalau bukan kepada kedua sahabatnya.

“Dia cuma lagi bosan itu, Ras. Makanya nelpon kamu. Sekali-kali kamu perlu cuek sama dia,” sahut Naila.

“Emang dia nggak punya kerjaan lain?” keluh Laras.

“Dia ‘kan emang nggak punya kerjaan, Ras. Pengangguran. Makanya dia sering pinjem uang sama kamu. Sekarang, ada nggak uang yang dia kembaliin?” omel Ara.

“Ya ‘kan dia belum ada, Ra. Nanti kalau ada juga dibalikin,” bela Laras.

“Duh, kamu kemakan cinta buta. Dia itu nggak ngelihat kamu sebagai pasangan hidup. Jadi, berhenti terpesona sama dia,” ujar Ara.

“Kamu jangan gitu dong, Ra. Dia ‘kan lagi berusaha” lagi-lagi Laras membela.

Kesekian kalinya, Ara dan Naila Cuma bisa menggelengkan kepalanya menanggapi kepolosan Laras. Ternyata benar, polos dan bodoh itu bedanya tipis. Siapa yang akan mengira Laras yang begitu polos ternyata adalah orang yang bodoh sekali?

==========

Saat ini, Laras menangis sesenggukan. Matanya sampai merah dengan ingus yang meleleh dari hidungnya. Kertas tissue bekas pakai bertebaran di lantai kamar kos Naila. Andai dalam keadaan biasa, sudah pasti Naila akan memarahi siapa pun yang membuat kamarnya berantakan.

Namun, ini bukan keadaan yang biasa. Bisa dibilang, ini adalah keadaan gawat darurat. Siaga satu. Pasalnya, Laras baru saja menceritakan sebuah kabar besar. Bahkan melebihi kabar bom atom yang meluluh-lantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki di masa lalu.

“Jadi, akhirnya dia sadar kamu nggak lebih cantik dari wanita yang dia lamar kemarin?” ejek Ara.

Laras menangis semakin kencang. Hatinya sudah patah. Rasa yang dia pupuk selama ini tak pernah tumbuh di hati orang lain. Padahal dia sudah mengorbankan banyak hal untuk orang itu. Perasaan, uang dan waktu yang dia punya. Pada akhirnya dia tidak mendapatkan apa pun. Perasaannya tidak berbalas.

“Sejak dia berani meminjam uang sama kamu, bukankah sudah ku beri tahu kalau dia itu nggak baik. Kalau sudah begini kamu mau nangis-nangis juga percuma, Ras,” omel Ara.

“Iya, Ras. Mending mah sekarang kamu tagih uangmu aja sama dia,” lanjut Naila.

“Aku mana tega, Nai. Dia kan pasti butuh untuk biaya pernikahannya.”

“Ya terus sekarang ngapain kamu nangis bombay begini. Tunjukan sama dia, lelaki bukan cuma dia doang di dunia ini. kamu bisa dapatkan yang lebih dari dia,” nasihat Ara.

“Tapi aku cinta sama dia, Ra”

“Dia nggak. Jadi berhenti merengek. Fokus sama masa depanmu sendiri. Ntar lama-lama juga kamu akan lupa sama dia, Ras.”

Beberapa hari setelah pernikahan lelaki yang disukai Laras, dia mendatangi kediaman lelaki itu dan istrinya. Dia hanya ingin menagih semua uang yang dia pinjamkan. Tentu saja sang istri terkejut mengetahui suami yang baru saja dinikahi ternyata memiliki hutang yang tidak sedikit. Tapi apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Dia terpaksa menyanggupi membayar hutang suaminya meski dengan tenggang waktu yang diberikan Laras.

Baca juga kisah Merindukan Pernikahan

Keterangan
1 = Ning, temannya Laras?
2 = Mbah Perempuan (Nenek)
3 = Iya. Laras kemana Mbah?
4 = Sudah nelpon, Ning. Laras keluar, dari tadi.
5 = Untuk apa sekolah tinggi kalau tidak kerja juga, Ras.

With Love

#chalengenulisbukujadiblog
#day3
Yuni Bint Saniro

Blogger wanita yang menyukai dunia menulis sejak SMA. Saat ini masih pemula. Tapi tidak masalah. Kelak ada masanya menjadi profesional. Semangat.

11 Komentar

Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.

  1. Aduuh, roaming. Hehe...
    Tapi bagus. Kental dengan nuansa kedaerahan. Suka suka suka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada artinya kok mbak lasmi, di bagian akhir. Di keterangan. Hehehe

      Hapus
  2. Berkesan tulisannya mengalir seperti bercerita

    BalasHapus
  3. Duh padahal udah diinget Ya sama Ara & Naila, tapi Laras tetep kekeuh dengan pendiriannya, jadinya terlambat dan sudah terlanjur kecewa sama sikap Sultan. Memang betul, sebagai sahabat kita harus saling peduli & mengingatkan satu sama lain ya

    BalasHapus
  4. Kalau memang sayang sahabat seharusnya begitu ya. Saling mengingatkan, menasihati, peduli.

    Dan ya namanya hutang ya harus dibayar. Buat yang dihutangi memang sdh seharusnya jg menagih, kalau diem aja ya salah juga. Hihi.

    BalasHapus
  5. Ceritanya baguus, meskipun ada beberapa bagian kata yang gak begitu dimengerti. hehehe

    BalasHapus
  6. Kan jadinya menyesal si Laras. Masih beruntung ya dia tahu keberadaannya si sultan. Coba kalau laki-laki itu menghilang tanpa kabar dan jejak, padahal sudah memoroti Laras. Haduh tambah nangis bombay berhari-hari kali ya hehehe. Beruntung Laras punya sahabat2 yang baik dan sayang sama dia. Selalu ada dalam setiap kesempatan.

    BalasHapus
  7. Aku suka baca ini jadi tahu Bahasa Madura. Makasih Mbak Yuni.
    Tentang cerita pacar pinjam uang, adik iparku juga pernah kena. Untung pertama pinjam cuma sedikit. Pas pinjam kedua, puluhan juta dia baru curiga, ditelisik ternyata ga beres cowoknya...suka gali lubang tutup lubang buat gaya hidup. Maka diputisn aja sama dia. Syukur dia denger waktu diingetin aku sama suamiku

    BalasHapus

  8. Laras, beruntung banget kamu punya sahabat kaya temen-temenmu.

    BalasHapus
  9. Duh, sayang sekali uang yang dipinjamkan Larasnya...

    BalasHapus
  10. Punya sahabat sejati itu seneng bnget. Bisa diajak suka dan duka. Sayangnya jarang ada yg sprti itu.

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama

Artikel Terbaru di Yuni Bint Saniro