credit pinterest |
Kisah sebelumnya di Merindukan Pernikahan - Delapan Belas
Abigail POV
Thank you
Suara mesin finger print, setelah aku menempelkan jempolku ke sensornya. Begitulah pagi hari di kantor ini, sedikit diramaikan dengan seruan suara dari mesin absen kami juga sedikit keriuhan suara para staff yang saling berbagi cerita.
Dan aku, sudah ingin langsung mendatangi kubikelku yang bersebelahan dengan kubikel Mery. Niat hati ingin langsung menghidupkan computer dan membuat surat ijin cuti. Bos besar sudah memintaku mengajukan cuti. Seharusnya, kami sudah mengajukan ini sebulan atau paling lambat dua minggu sebelum waktu cuti. Tapi apa daya, kami harus menyelesaikan pekerjaan sebelum kami tinggal beberapa hari.
Sebenarnya, sedikit banyak aku juga merasa khawatir untuk mengajukan cuti kali ini. Alasan pertama karena aku akan dilamar. Bukan masalah besar sih, aku memang sudah waktunya menikah. Tapi yang jadi masalah adalah siapa yang melamarku. Dan ini berhubungan dengan alasan kedua. Tidak boleh ada pasangan suami-istri yang berada dalam satu divisi yang sama.
Pilihannya adalah salah satu dari kami harus bersedia dimutasi. Lumrahnya perusahaan perkebunan, maka pilihan mutasinya adalah masih di kantor pusat hanya berpindah divisi atau di kantor perwakilan di Palembang sana. Dan yang paling parah adalah di pusat usaha kami yang signalpun enggan menghampiri. Nun jauh di kebun sana.
Sebagai bos besar bagian pembelian, tidak mungkin Mas Rayyan dipindahkan dari kantor pusat. Jadi pilihannya hanya aku. Bagaimana kalau ternyata aku dipindahkan dari kantor pusat? Mama, aku belum siap untuk berhenti kerja.
Si dia sih akan senang sekali kalau sampai aku berhenti bekerja. Masalahnya aku akan sangat kebosanan di rumah dan tidak melakukan apapun. Yah, meski akan banyak pekerjaan rumah tangga yang akan aku selesaikan. Tapi tetap saja hidupku akan monoton sekali. Apa iya aku sanggup menjadi ibu rumah tangga nantinya?
Tidak, Abs. Kamu pasti bisa. Jangan menyerah sebelum berusaha.
Saat itulah, ku lihat Mery dan Mbak Desy sudah berdiri di dekat kubikelku. Mereka menatapku tajam. Ada apa dengan mereka?
“Ternyata selama ini, Mbak Abi main belakang ya sama kami”, ujar Mery sinis.
“Main belakang apa sih, Mer? Pagi-pagi ngelindur kamu?”, tanyaku cuek.
Aku memilih duduk di kubikelku. Meletakkan tasku di bawah meja dan siap memulai aktifitas kerjaku hari ini.
“Jadi beneran, Bi?”, kali ini Mbak Desy yang bertanya sambil menarik kursi dan duduk di dekatku. Begitu pula dengan Mery.
“Apanya yang beneran?”, aku balik bertanya.
“Ih, Mbak Abi pura-pura bego. Bego beneran baru tahu rasa”, omel Mery.
Aku tertawa mendengar omelah Mery. Ada kemungkinan mereka telah mendengar kabar hubunganku dan Mas Rayyan. Bos besar pasti sudah meminta ijin pada Direktur Keuangan untuk acara kami. Dan berita sebesar itu sudah pasti akhirnya akan mereka dengar juga.
“Apa sih yang kalian pengen tahu?”, tanyaku pada akhirnya. Percuma juga ditutup-tutupi kali ini. Toh sudah banyak yang tahu juga.
“Jadi, bener Mas Ray mau nikahnya sama kamu?”, Tanya Mbak Desy.
“Lha yang nikah kan Mas Ray, kenapa yang ditanya aku?”, tanyaku berdalih.
“Karena Mas Ray katanya mau nikahnya sama Mbak Abi. Makanya kami mau konfirmasi”, omel Mery.
Aku tersenyum geli. Kedua wanita ini tidak akan berhenti merecokiku seharian jika keingintahuan mereka belum terpenuhi.
“Kenapa aku ngerasa dikhianati ya, Mbak Des?”, celoteh Mery.
“Makanya jangan kebanyakan halu. Mas Ray nggak bakal mau sama kamu”, ejek Mbak Desy membuat Mery cemberut.
“Kemarin juga Mbak Desy ngejekin aku. Tapi nyatanya..”, giliran aku mengejek Mbak Desi.
“Iya deh, yang mau jadi istri bos mah beda ya, Mer”, sindir Mbak Desy.
Aku hanya tertawa riang. Sejenak aku bisa melupakan kegundahan mengenai statusku di kantor ini.
“Eh tapi, daripada Mas Ray balikan sama mantan istri, aku lebih suka Mas Ray sama Mbak Abi sih”, ujar Mery.
“Jilat terus, Mer”, cecar Mbak Desy. “Kemarin siapa coba yang kegirangan nyapa si emak ganjen di Bandeng Juwana”, ejek Mbak Desy.
“Ih, Mbak Desy. Itu namanya demi kesopanan. Mana aku tahu kalau Mas Rayyan udah nggak demen sama mantan istrinya lagi eh malah demen sama Mbak Abi yang bulukan”, sahut Mery.
Apa katanya tadi? Apakah aku sebegitu buluknya di mata teman-temanku, Ya Allah? Rasanya aku sudah berusaha tampil serapi mungkin. Cuma kalau masalah tata rias, aku memang menyerah. Aku hanya mampu mengenakan pelembab wajah, bedak tabur dan lipglos. Selebihnya aku angkat tangan.
Kalau di mata sesama wanita saja aku dinilai buruk, bagaimana di depan Mas Rayyan? Bagaimana mungkin dia melamarku yang jelas-jelas lebih buruk ketimbang masa lalunya itu? pantas saja jika si emak ganjen sangat yakin kalau Mas Rayyan cuma mau mempermainkanku saja. Memang siapa yang mau menukar angsa dengan itik buruk rupa? Duh rasanya aku butuh kaca.
“Sudah, jangan didengerin omongan Mery! Dia memang nggak punya saringan buat mulutnya. Kamu manis dengan kesederhanaanmu, Abs”, hibur Mbak Desy membuat Mery meringis tanpa berdosa. “Mas Rayyan nggak akan melamarmu, jika nggak bisa menemukan keistimewaan dalam dirimu”, imbuhnya lagi membuatku lega.
Yah benar. Semua wanita memang terlahir istimewa. Bahkan si emak yang ganjen itupun sebenarnya teramat sangat istimewa. Tinggal bagaimana wanita itu sendiri menempatkan dirinya. Dia ingin diistimewakan atau malah direndahkan. Pilihan ada di tangan masing-masing.
==========
Surat cutiku sudah disetujui sama Mas Rayyan. Tanpa pertanyaan apapun. Memang mau bertanya apa lagi? Dia ‘kan sudah tahu apa rencana di balik cutiku ini. Justru yang jadi masalah sekarang adalah team HRD. Mereka pasti sudah tahu mengenai rencana lamaran ini. Pasti akan ada sedikit chit-chat dengan mereka.
“Cuekin aja mereka, Abs. Mereka tidak ada urusan apapun di sini. Kerjaan mereka ‘kan cuma mengonfirmasi dan memonitoring jatah cutimu saja”, begitu kata Mas Rayyan tadi saat aku mengeluhkan tentang kekhawatiranku akan tanggapan mereka.
Dia sih enak. Tidak mengkhawatirkan apapun. Bahkan kantor juga tidak akan memindahkan dia kemanapun. Lantas bagaimana denganku? Aku ‘kan hanya staff rendahan yang dituntut untuk siap ditempatkan dimanapun. Mereka mana perduli suamiku jenderal sekalipun.
Memikirkan mengenai masalah pemindahan, ini membuatku galau. Palembang itu beribu-ribu kilometer jaraknya dengan Surabaya. Kalaupun mau mudik juga butuh biaya yang lebih besar daripada jika aku di Semarang.
Sebenarnya aku bisa saja tidak perduli apapun. Toh kalau aku sudah menikah, aku tidak akan pusing sendiri memikirkan masalah mudik dan lain sebagainya. Ada Mas Rayyan yang akan membiayai hidupku. Aku yakin dia lebih dari mampu untuk itu. Tapi, apa aku sanggup hidup berjauhan dengan suami kalau sudah menikah?
“Mbak, aku mau cuti”, kataku sembari menyerahkan berkas cuti yang sudah ditandatangani oleh atasanku langsung.
Mbak Mega memeriksa surat cutiku sejenak sebelum menatap ke arahku. “Jadi gossip itu benar, Bi? Kamu akan cuti lamaran?”, tanyanya.
“Iya, Mbak”, jawabku gugup. Tatapan Mbak Mega membuatku tidak nyaman. Ada apa sih dengan mereka ini?
Aku tahu, Mas Rayyan itu idola hampir semua cewek single di kantor. Apakah aku sudah pernah bilang kalau banyak sekali para staff cewek single yang mencoba menarik perhatian bosku? Dulunya aku tidak pernah ingin bersaing dengan mereka. Aku selalu merasa minder, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka.
Namun siapa sangka, tiba-tiba Mas Rayyan dan ibunya datang ke rumah dan mengutarakan maksud hatinya untuk melamarku kepada kedua orang tuaku. Hati wanita mana yang tidak bersorak. Dalam mimpipun rasanya aku tidak berani membayangkannya. Dan sekarang mau tidak mau aku harus menghadapi entah apapun reaksi para cewek itu.
“Kamu tahu peraturannya ‘kan, Bi?”, Tanya Mbak Mega lagi.
Itulah yang aku pusingkan sejak awal, Mbak. Tidak boleh ada dua orang staff dalam hubungan suami-istri, berada dalam satu Divisi yang sama. Salah satu harus bersedia dipindahkan.
“Iya, Mbak”, jawabku lemah.
“Kami belum menyepakati tentang pemindahan salah satu di antara kalian. Nanti akan segera kami informasikan”, kata Mbak Mega.
“Baik Mbak”, jawabku.
Tentu saja yang akan kalian pikirkan hanya tentangku. Mana mungkin kalian berani memikirkan tentang pemindahan Mas Rayyan. Dia begitu hebat dibidangnya. Salah membuat keputusan, bisa jadi malah kehilangan dia. Dan kalian tidak punya cukup nyali untuk hal itu.
Mari kita pikirkan nanti saja tentang pemindahan itu. Aku tidak ingin memusingkannya saat ini. Mas Rayyan pasti tidak akan membiarkan aku dipindahkan ke luar kota. Sudah jelas ‘kan? Mana mungkin seorang suami membiarkan dirinya berjauhan dengan istri. Anggap saja aku terlalu percaya diri. Biarkanlah.
Yang jelas aku sudah bisa packing untuk pulang. Senyaman apapun kehidupan di tanah rantau, kalian akan selalu rindu kampong halaman. Iya ‘kan? Meski cuacanya panas, lalu lintasnya lebih macet dan lain sebagainya, tapi kalian tidak akan keberatan untuk bercengkerama dengan segala ketidaknyamanan itu jika berada di kampong halaman sendiri. Karena biar bagaimanapun, rumahku adalah surgaku.
To Be Continue
With Love
Thank you
Suara mesin finger print, setelah aku menempelkan jempolku ke sensornya. Begitulah pagi hari di kantor ini, sedikit diramaikan dengan seruan suara dari mesin absen kami juga sedikit keriuhan suara para staff yang saling berbagi cerita.
Dan aku, sudah ingin langsung mendatangi kubikelku yang bersebelahan dengan kubikel Mery. Niat hati ingin langsung menghidupkan computer dan membuat surat ijin cuti. Bos besar sudah memintaku mengajukan cuti. Seharusnya, kami sudah mengajukan ini sebulan atau paling lambat dua minggu sebelum waktu cuti. Tapi apa daya, kami harus menyelesaikan pekerjaan sebelum kami tinggal beberapa hari.
Sebenarnya, sedikit banyak aku juga merasa khawatir untuk mengajukan cuti kali ini. Alasan pertama karena aku akan dilamar. Bukan masalah besar sih, aku memang sudah waktunya menikah. Tapi yang jadi masalah adalah siapa yang melamarku. Dan ini berhubungan dengan alasan kedua. Tidak boleh ada pasangan suami-istri yang berada dalam satu divisi yang sama.
Pilihannya adalah salah satu dari kami harus bersedia dimutasi. Lumrahnya perusahaan perkebunan, maka pilihan mutasinya adalah masih di kantor pusat hanya berpindah divisi atau di kantor perwakilan di Palembang sana. Dan yang paling parah adalah di pusat usaha kami yang signalpun enggan menghampiri. Nun jauh di kebun sana.
Sebagai bos besar bagian pembelian, tidak mungkin Mas Rayyan dipindahkan dari kantor pusat. Jadi pilihannya hanya aku. Bagaimana kalau ternyata aku dipindahkan dari kantor pusat? Mama, aku belum siap untuk berhenti kerja.
Si dia sih akan senang sekali kalau sampai aku berhenti bekerja. Masalahnya aku akan sangat kebosanan di rumah dan tidak melakukan apapun. Yah, meski akan banyak pekerjaan rumah tangga yang akan aku selesaikan. Tapi tetap saja hidupku akan monoton sekali. Apa iya aku sanggup menjadi ibu rumah tangga nantinya?
Tidak, Abs. Kamu pasti bisa. Jangan menyerah sebelum berusaha.
Saat itulah, ku lihat Mery dan Mbak Desy sudah berdiri di dekat kubikelku. Mereka menatapku tajam. Ada apa dengan mereka?
“Ternyata selama ini, Mbak Abi main belakang ya sama kami”, ujar Mery sinis.
“Main belakang apa sih, Mer? Pagi-pagi ngelindur kamu?”, tanyaku cuek.
Aku memilih duduk di kubikelku. Meletakkan tasku di bawah meja dan siap memulai aktifitas kerjaku hari ini.
“Jadi beneran, Bi?”, kali ini Mbak Desy yang bertanya sambil menarik kursi dan duduk di dekatku. Begitu pula dengan Mery.
“Apanya yang beneran?”, aku balik bertanya.
“Ih, Mbak Abi pura-pura bego. Bego beneran baru tahu rasa”, omel Mery.
Aku tertawa mendengar omelah Mery. Ada kemungkinan mereka telah mendengar kabar hubunganku dan Mas Rayyan. Bos besar pasti sudah meminta ijin pada Direktur Keuangan untuk acara kami. Dan berita sebesar itu sudah pasti akhirnya akan mereka dengar juga.
“Apa sih yang kalian pengen tahu?”, tanyaku pada akhirnya. Percuma juga ditutup-tutupi kali ini. Toh sudah banyak yang tahu juga.
“Jadi, bener Mas Ray mau nikahnya sama kamu?”, Tanya Mbak Desy.
“Lha yang nikah kan Mas Ray, kenapa yang ditanya aku?”, tanyaku berdalih.
“Karena Mas Ray katanya mau nikahnya sama Mbak Abi. Makanya kami mau konfirmasi”, omel Mery.
Aku tersenyum geli. Kedua wanita ini tidak akan berhenti merecokiku seharian jika keingintahuan mereka belum terpenuhi.
“Kenapa aku ngerasa dikhianati ya, Mbak Des?”, celoteh Mery.
“Makanya jangan kebanyakan halu. Mas Ray nggak bakal mau sama kamu”, ejek Mbak Desy membuat Mery cemberut.
“Kemarin juga Mbak Desy ngejekin aku. Tapi nyatanya..”, giliran aku mengejek Mbak Desi.
“Iya deh, yang mau jadi istri bos mah beda ya, Mer”, sindir Mbak Desy.
Aku hanya tertawa riang. Sejenak aku bisa melupakan kegundahan mengenai statusku di kantor ini.
“Eh tapi, daripada Mas Ray balikan sama mantan istri, aku lebih suka Mas Ray sama Mbak Abi sih”, ujar Mery.
“Jilat terus, Mer”, cecar Mbak Desy. “Kemarin siapa coba yang kegirangan nyapa si emak ganjen di Bandeng Juwana”, ejek Mbak Desy.
“Ih, Mbak Desy. Itu namanya demi kesopanan. Mana aku tahu kalau Mas Rayyan udah nggak demen sama mantan istrinya lagi eh malah demen sama Mbak Abi yang bulukan”, sahut Mery.
Apa katanya tadi? Apakah aku sebegitu buluknya di mata teman-temanku, Ya Allah? Rasanya aku sudah berusaha tampil serapi mungkin. Cuma kalau masalah tata rias, aku memang menyerah. Aku hanya mampu mengenakan pelembab wajah, bedak tabur dan lipglos. Selebihnya aku angkat tangan.
Kalau di mata sesama wanita saja aku dinilai buruk, bagaimana di depan Mas Rayyan? Bagaimana mungkin dia melamarku yang jelas-jelas lebih buruk ketimbang masa lalunya itu? pantas saja jika si emak ganjen sangat yakin kalau Mas Rayyan cuma mau mempermainkanku saja. Memang siapa yang mau menukar angsa dengan itik buruk rupa? Duh rasanya aku butuh kaca.
“Sudah, jangan didengerin omongan Mery! Dia memang nggak punya saringan buat mulutnya. Kamu manis dengan kesederhanaanmu, Abs”, hibur Mbak Desy membuat Mery meringis tanpa berdosa. “Mas Rayyan nggak akan melamarmu, jika nggak bisa menemukan keistimewaan dalam dirimu”, imbuhnya lagi membuatku lega.
Yah benar. Semua wanita memang terlahir istimewa. Bahkan si emak yang ganjen itupun sebenarnya teramat sangat istimewa. Tinggal bagaimana wanita itu sendiri menempatkan dirinya. Dia ingin diistimewakan atau malah direndahkan. Pilihan ada di tangan masing-masing.
==========
Surat cutiku sudah disetujui sama Mas Rayyan. Tanpa pertanyaan apapun. Memang mau bertanya apa lagi? Dia ‘kan sudah tahu apa rencana di balik cutiku ini. Justru yang jadi masalah sekarang adalah team HRD. Mereka pasti sudah tahu mengenai rencana lamaran ini. Pasti akan ada sedikit chit-chat dengan mereka.
“Cuekin aja mereka, Abs. Mereka tidak ada urusan apapun di sini. Kerjaan mereka ‘kan cuma mengonfirmasi dan memonitoring jatah cutimu saja”, begitu kata Mas Rayyan tadi saat aku mengeluhkan tentang kekhawatiranku akan tanggapan mereka.
Dia sih enak. Tidak mengkhawatirkan apapun. Bahkan kantor juga tidak akan memindahkan dia kemanapun. Lantas bagaimana denganku? Aku ‘kan hanya staff rendahan yang dituntut untuk siap ditempatkan dimanapun. Mereka mana perduli suamiku jenderal sekalipun.
Memikirkan mengenai masalah pemindahan, ini membuatku galau. Palembang itu beribu-ribu kilometer jaraknya dengan Surabaya. Kalaupun mau mudik juga butuh biaya yang lebih besar daripada jika aku di Semarang.
Sebenarnya aku bisa saja tidak perduli apapun. Toh kalau aku sudah menikah, aku tidak akan pusing sendiri memikirkan masalah mudik dan lain sebagainya. Ada Mas Rayyan yang akan membiayai hidupku. Aku yakin dia lebih dari mampu untuk itu. Tapi, apa aku sanggup hidup berjauhan dengan suami kalau sudah menikah?
“Mbak, aku mau cuti”, kataku sembari menyerahkan berkas cuti yang sudah ditandatangani oleh atasanku langsung.
Mbak Mega memeriksa surat cutiku sejenak sebelum menatap ke arahku. “Jadi gossip itu benar, Bi? Kamu akan cuti lamaran?”, tanyanya.
“Iya, Mbak”, jawabku gugup. Tatapan Mbak Mega membuatku tidak nyaman. Ada apa sih dengan mereka ini?
Aku tahu, Mas Rayyan itu idola hampir semua cewek single di kantor. Apakah aku sudah pernah bilang kalau banyak sekali para staff cewek single yang mencoba menarik perhatian bosku? Dulunya aku tidak pernah ingin bersaing dengan mereka. Aku selalu merasa minder, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mereka.
Namun siapa sangka, tiba-tiba Mas Rayyan dan ibunya datang ke rumah dan mengutarakan maksud hatinya untuk melamarku kepada kedua orang tuaku. Hati wanita mana yang tidak bersorak. Dalam mimpipun rasanya aku tidak berani membayangkannya. Dan sekarang mau tidak mau aku harus menghadapi entah apapun reaksi para cewek itu.
“Kamu tahu peraturannya ‘kan, Bi?”, Tanya Mbak Mega lagi.
Itulah yang aku pusingkan sejak awal, Mbak. Tidak boleh ada dua orang staff dalam hubungan suami-istri, berada dalam satu Divisi yang sama. Salah satu harus bersedia dipindahkan.
“Iya, Mbak”, jawabku lemah.
“Kami belum menyepakati tentang pemindahan salah satu di antara kalian. Nanti akan segera kami informasikan”, kata Mbak Mega.
“Baik Mbak”, jawabku.
Tentu saja yang akan kalian pikirkan hanya tentangku. Mana mungkin kalian berani memikirkan tentang pemindahan Mas Rayyan. Dia begitu hebat dibidangnya. Salah membuat keputusan, bisa jadi malah kehilangan dia. Dan kalian tidak punya cukup nyali untuk hal itu.
Mari kita pikirkan nanti saja tentang pemindahan itu. Aku tidak ingin memusingkannya saat ini. Mas Rayyan pasti tidak akan membiarkan aku dipindahkan ke luar kota. Sudah jelas ‘kan? Mana mungkin seorang suami membiarkan dirinya berjauhan dengan istri. Anggap saja aku terlalu percaya diri. Biarkanlah.
Yang jelas aku sudah bisa packing untuk pulang. Senyaman apapun kehidupan di tanah rantau, kalian akan selalu rindu kampong halaman. Iya ‘kan? Meski cuacanya panas, lalu lintasnya lebih macet dan lain sebagainya, tapi kalian tidak akan keberatan untuk bercengkerama dengan segala ketidaknyamanan itu jika berada di kampong halaman sendiri. Karena biar bagaimanapun, rumahku adalah surgaku.
To Be Continue
With Love