Abigail's POV
Selamat datang hidup yang baru. Status baru. Teman baru.
Istri. Akhirnya, penantian ini berakhir. Saat ini, aku sudah resmi menjadi seorang istri. Jangan ditanya bagaimana gugupnya aku, ketika Mas Rayyan mengucap akad sembari menjabat tangan papa. Andai jantung ini bukan ciptaan Tuhan, aku tidak akan heran jika organ itu sampai ke luar dari rongga dadaku. Detaknya hebat sekali hingga aku nyaris kewalahan. Aku bahkan khawatir mamaku dan mama Mas Rayyan sampai bisa mendengar degupnya. Meski harus ku akui, itu adalah hal wajar. Semua wanita pasti merasakannya di hari pernikahan mereka. Sama dengan yang ku rasakan. Iya 'kan?
Sumber : website tribunnews |
Kini aku pun bisa berucap selamat tinggal masa lajang. Mama juga tidak ribut lagi bertanya, "Kamu mau jodoh yang seperti apa lagi? Hampir semua yang datang ke papa, kamu tolak." Saat ini aku bisa menjawab dengan mantap pertanyaan mama, "aku 'kan maunya yang seperti Mas Rayyan, ma. Tu lihat, udah jadi suami Abi 'kan. " Meski aku yakin, mama akan sangat geram jika aku mengatakan hal itu padanya.
Satu-satunya yang jadi beban pikiran saat ini adalah pekerjaanku. Pasti tidak akan nyaman rasanya menjalani Long Distance Relationship (LDR) di saat baru memulai sebuah hubungan. Dan pernikahan bukanlah sesuatu yang main-main. Masih segar dalam ingatan, apa isi percakapanku dan mama beberapa hari lalu.
"Istri tu sudah kewajibannya berbakti sama suami, Bi. Kalau kamu nggak kerja juga pasti nggak akan masalah sama Ray," kata mama.
"Tapi 'kan pasti bosen kalau Abi cuma diam di rumah aja seharian, Ma," bantahku.
"Lha siapa bilang kamu cuma akan diam seharian. Kamu tu juga mesti mengurus rumah, keperluan suami kamu dan menjaga kenyamanan kalian," jelas Mama.
Dalam pikiranku langsung saja terbersit semua pekerjaan rumah tangga. Beres-beres rumah, memasak, mencuci dan lain sebagainya yang ku pikir bisa saja ku alihkan pada pembantu. Mas Rayyan juga tidak akan keberatan membayar pembantu.
"Memang sih semua itu bisa dilakukan oleh pembantu," lanjut mama seolah memahami pemikiranku. "Tapi akan lebih baik kalau masalah keperluan suami, istri sendiri yang mengurus."
"Kalau aku juga kerja kan penghasilan kami jadi lebih, Ma. Aku juga bisa beli apa-apa sendiri tanpa nunggu dari Mas Ray," aku masih berargumen.
Saat itu, mama menatapku tajam. Raut wajahnya juga tegang. Sepertinya ada yang salah dengan ucapanku. Ah benar. Selama ini mama tidak pernah bekerja. Semenjak memutuskan menikahi papa, wanita yang telah melahirkanku itu berhenti dari pekerjaannya dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Sangat baik. Lihat saja, bagaimana aku bisa tumbuh dan berkembang hingga menjadi istri seperti sekarang.
"Terserah kamu, Bi. Meski mama capek jelasin nggak ada yang salah dengan pekerjaan ibu rumah tangga juga, kamu nggak akan mau nurut kalau keinginanmu sudah mantap pingin terus kerja," keluh mama mungkin beliau sudah lelah menghadapiku yang selalu mendebat.
"Satu hal yang harus kamu tahu, Bi. Rejeki itu rumusnya nggak bisa seperti yang kamu bayangkan. Kamu kerja, Rayyan kerja maka penghasilan kalian akan bertambah. Nggak bisa gitu. Mama yakin kamu sudah lebih dari paham masalah beginian," jelas mama mengakhiri diskusi kami. Beliau lalu melanjutkan mengurus segala tetek bengek pernikahanku.
Begitulah. Pembicaraanku dan mama mengenai ibu rumah tangga tidak pernah lagi berlanjut. Sampai sekarang, aku kembali ke Semarang. Pindah ke rumah Mas Rayyan dan tinggal bersama mamanya. Bukan hanya itu, ada seorang wanita paruh baya yang biasa kami panggil simbok yang membantu mama mengurusi pekerjaan rumah. Jadi, kalaupun aku tidak bekerja, aku hanya akan ongkang-ongkang kaki saja di rumah. Bukankah itu sangat membosankan?
"Abi, mikirin apa Nak?" tanya mama Mas Rayyan, mertuaku. Di usia senjanya, masih nampak sisa kecantikan itu. Hidung beliau juga mancung. Beda sekali dengan hidungku. Mancung sih, tapi lebih ke dalam. Kini, aku tahu darimana Mas Rayyan mewarisi wajah yang sangat rupawan.
"Nggak mikirin apa-apa, Ma," jawabku sembari melempar senyum termanis yang ku miliki.
"Bosan di rumah aja ya, Nak? Suamimu juga keterlaluan, habis nikah bukannya bawa kalian honeymoon kemana gitu, malah masuk kerja aja. Padahal kamu juga masih cuti," omel mertuaku.
Yah, sehari setelah pernikahan kami, Mas Rayyan langsung masuk kerja. Tidak ada tambahan cuti untuk bulan madu. Lelaki itu benar-benar workaholic. Mungkin tiga tahun menduda membuatnya lupa bagaimana memanjakan istri.
"Banyak kerjaan 'kan, Ma. Staff Mas Ray juga masih cuti. Jadi, wajar kalau dianya malah langsung masuk," jawabku.
Kalau boleh jujur, aku juga ingin sedikit berlibur atau honey moon (meminjam istilah mama) kemana gitu. Namun, suamiku tersayang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya lebih lama sedikit saja. Padahal, aku yakin tidak ada hal yang terlalu urgent. Kalaupun ada, Pak Edgar pasti bisa mengambil alih.
"Bi," panggil mertuaku lembut. Tatapannya teduh sekali kepadaku. Nampak jelas beliau adalah wanita penyayang.
"Iya, Ma."
Mertuaku membelai belakang kepalaku. Tentu beliau hanya bisa mengelusnya di balik jilbab biru yang ku kenakan. Saat ini kami duduk berdampingan di ruang tamu, membiarkan simbok bergerilya sendirian dengan tumpukan cucian di belakang.
"Kamu yakin nggak mau resign aja? Yakin, sanggup hidup berjauhan sama Ray. Kamu baru saja nikah lho"
Pertanyaan itu lagi. Kini hatiku mulai goyah. Semarang-Palembang bukan jarak yang dekat. Butuh satu setengah jam untuk penerbangannya. Belum lagi macet tak berkesudahan di sini dan di sana. Apa benar aku akan sanggup?
==========
Enaknya menjadi istri itu ya begini. Ada seorang yang bisa bebas kita peluk tanpa takut dosa. Sentuhan yang dulunya tabu juga sudah menjadi ajang pahala. Kadang suka heran, setelah menjalani pernikahan, bagaimana bisa Mas Rayyan tahan menduda selama itu.
"Nggak pake mikir yang aneh-aneh lagi ya, Bi," kata Mas Ray sembari menyentil keningku.
Bibirku mengerucut. Ini laki sukanya menyentil banget. Dia belum tahu apa, daripada disentil kan mending dicium.
Waktu pertama kali tidur dengannya, aku mengemukakan satu pertanyaan gila. Apakah benar Mas Rayyan tidak menyentuh wanita sama sekali selama menduda? Bukan apa-apa sih. Aku tahu saja kalau terkadang pria juga membutuhkan pelepasan. Dan bukan masalah yang berarti kalau ternyata benar dia pernah ada "main" sama seseorang. Toh, saat ini dia sudah menjadi milikku. Bahkan mantan istrinya saja kalah menarik dibanding aku yang biasa saja. Mendadak tingkat kepercayaan diriku meningkat.
"Daripada disentil begitu mending disayang dong Mas. Lebih romantis dan nggak sakit," keluhku sambil mengusap kening bekas sentilannya. Aku yakin akan meninggalkan kemerahan yang langsung menghilang beberapa menit lagi.
Dia hanya menatapku sekilas. Sama sekali tidak punya sisi romantisme. Kesal sendiri, aku memutuskan berbaring memunggunginya. Namun selanjutnya, dia melilitkan lengannya di perutku erat.
"Kadang kamu perlu diingatkan, biar pikirannya nggak kemana-mana," katanya tepat di telingaku. Dia tidak tahu saja, aku sudah merinding mendengar suaranya.
"Ngomongnya nggak pake sedekat ini juga kali, Mas," ujarku serak. Aku berusaha melepas pelukannya.
"Udah halal, Bi. Nggak dosa," katanya cuek.
Tapi jantungku mau copot. Mas Rayyan memang bukan seorang pria romantis. Dia cuma pria yang langsung main peluk kalau sedang berada di ruang privasi begini. Kalau di luar beda lagi ceritanya. Paling banter juga gandengan tangan. Dan memang sih keintiman begini bukan konsumsi publik.
"Mbak Ayu, sudah balik ke suaminya ya Mas?" tanyaku. Sejak menikah si mantan istri suamiku itu memang tidak pernah lagi muncul. Mungkin dia sudah paham dengan apa yang diinginkan Mas Rayyan. Dan itu sudah bukan lagi dirinya.
"Nggak ngerti dan nggak mau tahu juga urusan dia," jawabnya.
"Dih sama mantan istri masa begitu?" ejekku.
"Aku lagi males bujuk orang ngambek, Bi," jawabnya.
"Siapa?" tanyaku heran.
"Ya kamu. Nggak ingat waktu di Bandeng Juwana kamu mendadak pergi karena Ayu tiba-tiba muncul. Padahal waktu itu kamu baru makan sedikit lho, Bi. Dan aku juga nggak tahu gimana dia bisa sampai sana," jelasnya.
Iya juga sih. Masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Mas Rayyan sudah cerita kalau sebelum pernikahan Mbak Ayu datang ke rumahnya dan berusaha meminta rujuk. Dia juga berjanji akan mengurus perceraiannya secepat mungkin. Tapi suamiku tersayang ini sangat teguh pendirian. Buktinya saja sekarang kami sudah menjadi suami istri.
Jadi, malam ini mari abaikan urusan masa lalu. Fokus saja sama masa depan keluarga dimana ada aku, suami dan anak-anak. Ngomong-ngomong masalah anak, posisi Mas Rayyan sudah di luar nalar. Dia sudah membalikkan tubuhku dan berada di atasku. Pandangannya menggelap. Senyumnya mesum. Kalau sudah begini, hanya ada satu kemungkinan.
Surga dunia.
-To Be Continue -
With Love
Kok saya jadi penasaran, ini fiksi ata non fiksi yah?
BalasHapussaya suka..saya suka...saya suka... hehehe
Ini fiksi dong.. Khayalan. Hasil rekayasa. Hehehe
HapusLanjutkan Mbak, saya suka cerita fiksi. Penasaran sama endingnya hahaa.
BalasHapusWah, LDM-an ya..kayaknya enggak usah deh, secara pengantin baru, Semarang-Palembang jauh juga lho. Ongkos pesawat sekarang juga mahal bangets..
BalasHapusHiks
Tapi terus Abi ngapain jadinya ya...Ususl: jadi blogger aja:D
Udah, nyusul aja. Nanti cari kerjaan baru di sana. Hehe...
BalasHapusRomantika rumah tangga berjauhan...Btw...kan udah udah menikah, judulnya bukan merindukan lagi dong...Hehe...
Wah endingnya kapan ini? Hihihi makin penasaran dakuh, keknya jangan kepanjangan mba. Udahan aja mbaaa gak kuku aku hahahah
BalasHapusLDM pas penganten baru itu sesuatu banget yun, jangan sampe deh..
BalasHapusSelamat menempuh hidup baru ya udh jd seorang iatri dari Rayyan. Moga bahagia selalu...
BalasHapusMba ini cerita beneran atau fiksi hihihi. Abis bagus ikh cara menyajikan ceritanya. Kayak lagi baca novel aku jadinya. Hahaha. Salam kenal ya 😃
BalasHapusKeep on writing mbak! mudah-mudah tulisan novelnya bisa diupgrade jadi buku novel beneran heehehe
BalasHapus