Anak Sang Penari

Sumber : https://www.shutterstock.com/image-photo/traditional-dancer-yogyakarta-669172159

“Kali ini aku yang akan menjadi juara umum. Bukan lagi kamu, anak haram”, ejek Marinka pada seorang gadis dengan seragam putih-biru yang sama dengannya.

Naya. Begitu nama yang terpasang pada badge seragam putihnya. Tidak panjang. Hanya satu kata. Namun baginya, nama itu sangat cantik. Secantik wajahnya. Nama pemberian ibunya. Sayangnya, tidak pernah ada yang memanggilnya demikian. Tidak pula Marinka, gadis yang selalu menjadi saingannya dalam prestasi.

Tak terbilang berapa cemoohan yang Naya terima karena pekerjaan ibunya. Namun dia selalu berhasil menutup kedua telinganya dari mendengar cemoohan itu. Dia tidak mengijinkan hatinya tersakiti hanya karena sesuatu yang tidak dilakukan ibunya.

“Aku tak pernah keberatan kalau kamu menjadi juara umumnya, Mar”, sahutnya pelan. Tanpa menunjukkan, betapa dia merasa sakit hati mendengar nama yang disematkan padanya.

Anak haram. Hanya karena dia tidak memiliki ayah. Lebih tepatnya tidak ada yang tahu seperti apa sosok ayahnya. Bahkan dia hanya mengenal ayahnya dari selembar photo lama. Photo yang disimpan ibunya sebagai sebuah kenangan.

Ditambah dengan Pekerjaan sang ibu yang hanya seorang penari jaipong. Membuat semua orang menilai rendah pada keluarga mereka. Tanpa perduli, bagaimana kisah sebenarnya.

***

Beberapa tahun silam, Naya kecil duduk menanti sang ibu di ruang tamu. Dengan isak tangis yang masih menggelantung di wajah manisnya. Cukup lama dia menangis. Tangis pilu yang disebabkan oleh celoteh anak yang terpengaruh hasutan dari orang dewasa. Anak yang dilarang bermain dengannya.

“Kata mamaku, aku tidak boleh bermain denganmu. Kamu nggak punya ayah. Kamu anak haram”, celoteh anak itu tadi.

Kini dia tidak perduli dengan suara jam yang berdentang menunjukkan waktu tengah malam. Bahkan kantuk yang sejak tadi datang menghampiri pun tak dia hiraukan. Semata-mata karena dia ingin meminta kepastian mengenai suatu hal. Tentang nama yang selalu disematkan pada dirinya, tanpa belas kasihan oleh semua orang. Nama yang bukan namanya.

Tepat pukul satu dini hari, pintu depan dibuka dari luar. Sosok wanita dengan riasan yang cantik masuk dan mendekati Naya kecil. Senyum lebarnya tersemat di wajah wanita itu, melihat putri kecilnya masih terjaga dan menunggunya dengan boneka beruang dalam pelukan. Ya, dialah ibunya. Malaikat tanpa sayap, yang terus berjuang untuk hidup mereka.

“Kenapa belum tidur?”, tanya wanita itu ketika telah menyejajarkan tubuhnya dengan posisi Naya.

“Naya menunggu Ibu”, jawabnya polos.

Maka digendongnya Naya kecil dan mereka melangkah menuju kamar Naya. Kamar dengan wallpaper merah muda yang menjadi kesukaannya. Wanita itu merebahkan tubuh Naya kecil ke tempat tidur. Lalu dia mengambil tempat di sebelahnya.

“Kenapa menunggu Ibu?”, tanya wanita itu lagi.

“Benarkah Naya tidak memiliki Ayah, Bu? Kenapa mereka selalu memanggil Naya dengan sebutan anak haram?”, tanya Naya kecil.

Wanita itu terdiam. Dia bukan tidak tahu apa saja yang sudah dialami putri kecilnya. Tapi dia juga tidak bisa mengatur bagaimana sikap orang-orang di sekeliling mereka. selama ini dia hanya menggunakan kedua tangannya untuk menutup telinganya sendiri dari segala ucapan orang banyak. Dia lupa bahwa ada sepotong hati yang juga harus dijaga. Sepotong hati yang harus diberi pemahaman yang baik.

Segera dia memeluk putrinya erat. Menyalurkan segenap energi kasih sayang yang dia miliki. Tanpa tersisa. Berharap dengan begitu, Naya tidak pernah kekurangan perhatian. Meski dia tidak memiliki keluarga yang utuh.

“Dengarkan Ibu. Naya punya Ayah kok. Dan tidak ada yang namanya anak haram di dunia ini”, wanita itu memulai penjelasannya.

“Lalu dimana Ayah Naya, Bu? Kenapa tidak bersama kita?”, tanya Naya yang merasa tidak puas dengan jawaban ibunya.

“Karena Ayah Naya orang baik. Dia sudah menjadi bintang di langit”, jawab wanita itu.

Sejak saat itu yang Naya pahami adalah ayahnya tidak akan lagi bersama mereka. Ketika dia menjalani hari yang berat, dia akan memandang langit lebih lama sembari menanti ibunya pulang dari pekerjaan menarinya. Dia akan menghitung bintang dan bertanya-tanya dimanakah letak bintang ayahnya itu.

Dia tidak pernah mengeluhkan apapun. Baginya, dia merasa cukup tinggal berdua dengan ibu yang sangat menyayanginya. Ibunya juga selalu mencurahkan segenap perhatiannya ketika sedang berada di rumah. Tidak pernah ibunya membicarakan tentang pekerjaan ketika sedang bersamanya. Hingga akhirnya dia tumbuh menjadi gadis yang penuh pengertian, sabar dan pintar.

***

“Kamu memang tidak berhak menjadi juara umum, anak haram”, rutuk Marinka lagi.

Naya hanya tersenyum. Teringat jelas pesan ibunya, “Tidak masalah meski kamu bukan juara umum, anakku. Karena yang terpenting adalah usahamu. Kamu sudah cukup berusaha untuk mendapatkan nilai yang baik. Dan itu sudah membuat ibu bangga padamu”.

Dan begitulah Naya. Tidak pernah terobsesi dengan prestasi gemilang. Dia hanya berusaha belajar dengan baik. Tidak lagi terlalu memusingkan bagaimana penilaian orang lain terhadap keluarganya. Karena dia tidak akan bisa membungkam mulut banyak orang dengan kedua tangannya.

Memang benar Naya hanya anak seorang penari. Pekerjaan yang membuat citra ibunya jelek di mata masyarakat. Ditambah dengan tidak adanya sosok suami yang menemani ketika masa kehamilan Naya. Akhirnya membuat Naya mendapatkan sebuah julukan lain. Anak haram.

Padahal dia bukan anak haram. Ibunya pun berkata tidak ada anak haram di dunia ini. Ibunya bahkan menikah meski akhirnya harus ditinggal pergi suami untuk selamanya. Tapi dia memiliki orang tua yang jelas. Dia hanyalah anak seorang penari. Penari jaipong. Apakah ada yang salah dengan itu?

Tidak. Tidak ada yang salah dengan pekerjaan penari. Hanya penilaian mereka yang kurang tepat. Mereka selalu ingin melihat sesuatu dari sudut pandang mereka. Tanpa mau memahami, ada sudut pandang lain yang mungkin lebih baik. Itu hak mereka. Naya tidak pernah benar-benar mempermasalahkannya. Dia dan sang ibu selalu menerima, segala ejekan dan hinaan. Tanpa mengapa dan tanpa tapi.

Kini hasil belajar telah berada di tangannya. Melalui sebuah pengumuman, lagi-lagi namanya yang keluar sebagai juara umum. Bukan Marinka, gadis manis anak saudagar kaya yang sering menyewa grup penari ibunya. Saudagar kaya yang lebih memilih mengejar fana dunia daripada membersamai pertumbuhan buah hati mereka.

[End]

Yuni Bint Saniro

Blogger wanita yang menyukai dunia menulis sejak SMA. Saat ini masih pemula. Tapi tidak masalah. Kelak ada masanya menjadi profesional. Semangat.

15 Komentar

Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.

  1. Cerpennya bagus banget mbak, pesan moralnya dapet. Isi hati pembaca diaduk-aduk bin gemas sama sosok Marinka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih.
      Semoga menghibur ya, Mbak Nanik.
      Hehehe

      Hapus
  2. Suka dengan Naya, selalu suka neng sama perempuan-perempuan kuat seperti Naya dan ibunya. Di kehidupan nyata banyak kejadian seperti itu. Ngomong-ngomong teknik menulisnya semakin berkembang neng.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe,,, Mungkin karena sering berlatih ya. Sebenarnya nggak bisa dibilang sering, buktinya update blog fiksinya malah jarang banget. Tapi ya begitulah.

      Terima kasih sudah menikmati cerpen ini.

      Hapus
  3. woow....saya sampe nahan napas bacanya. Kejamnya lingkungan yg nyinyir, tugas ibulah yg hrs memberi pelajaran kpd Naya & Mariska. Pasti salah ibu yg mendidik Mariska. Keren cerpenya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah menikmati cerpennya, Mbak. Korban nonton sinetron ini Yuni. Hehehe

      Hapus
  4. Bagus kisahnya, mengalir. Jadi mau baca sampai akhir. Lanjut...kisah yg lain dong...

    BalasHapus
  5. Wohoho ... Ternyata ayahnya Marinka masih di bumi ya belum terbang menuju ke bintang. Andai Marinka tahu bahwa dia dan Naya bersaudara, pasti Marinka akan semakin membenci Naya.

    Ah, tapi biarkan saja. Seorang anak yang hidup dengan cinta seorang ibu saja, nyatanya bisa menjadi juara.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang penting sang anak kenyang dengan pemahaman yang baik sejak kecil. Menurut yuni sih begitu, Mbak. Hehehe

      Hapus
  6. Saya sering miris dengan maraknya perundungan di mana-mana. Sedikit saja seseorang berbeda dengan yang lainnya, para pelaku perundungan merasa berhak untuk menjatuhkan vonis dan melukai hati korbannya. Duh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mbak. Jaman semakin canggih dan mentalitas anak mudanya ntahlah,,,

      Hapus
  7. Semangat Nayaaa...Duh sedih baca cerpen ini. Moga2 Naya dan ibunya bahagia selalu. Salut sama ibunya yg selalu membesarkan hati Naya dgn semangat, shingga bisa mnjdi juara umum. Nice story...

    BalasHapus
  8. Dari cerita di atas, sy jadi paham bahwa kita tidak boleh meremehkan profesi orang lain, termasuk seorang penari jaipong sekalipun.

    BalasHapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama

Artikel Terbaru di Yuni Bint Saniro