[Gambar : islami.co] |
Setengah jam menjelang waktu sholat dhuhur. Panas matahari terik sekali, meski nggak akan ada apa-apanya jika dibandingkan dengan panas api neraka. Rasanya, aku ingin sekali berendam dan menikmati aroma parfum yang menenangkan dari Vitalis Body Soap. Mungkin varian ijo akan membantu kulitku menjadi fresh kembali. Hanya membayangkannya saja membuatku adem.
Sayangnya, aku nggak akan sempat pulang ke kos. Karena setelah ini aku masih harus ikut mata kuliah Hidroponik. Dengan ancaman kantuk menyerang selama mata kuliah nanti. Jadi, menurutku lebih baik menunggu di masjid sembari murojaah dan menunaikan ibadah sholat dhuhur.
Tak lupa aku membeli dua potong pisang goreng dan air mineral untuk pengganjal perut. Suara keroncongan dari cacing yang mulai berdemo terdengar jelas di telinga. Senyum geli menghiasi wajahku. Teringat tadi pagi aku memang belum sempat sarapan. Terlalu terburu-buru untuk mengikuti mata kuliah Pak Kasmir. Botani.
“Aisyah, mau ke masjid ya? Bareng yuk!” ajak Dhila salah satu temanku dari jurusan Ilmu Kelautan.
Dia adalah seorang gadis dengan perawakan mungil dan raut wajah yang sangat manis. Hidung mancung dilengkapi tatapan mata yang sangat tajam. Setajam silet, kalau kata Feni Rose, presenter sebuah acara gossip. Selain itu, hijab lebar berwarna pink cerah juga menghias penampilannya. Sungguh, memandangnya nggak pernah menimbulkan rasa bosan.
“Sebentar ya, Dhil. Aku beresin pembayaran dulu,” jawabku sembari menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan pada pemilik kios penjual gorengan.
Meski ku akui, aku nggak semanis dan semenarik Dhila, tapi aku nggak pernah merasa minder jika bersamanya. Aku tahu, hidungku akan selalu kalah mancung. Bibirku selalu membutuhkan sapuan lipglos agar terlihat lebih ceria. Kulitku pun nggak absen dengan segala pelembab untuk menjaga dari kekeringan.
Intinya, diriku memang berbeda dengan Dhila yang sudah manis dari sononya. Tapi tetap saja, terkadang kami menghabiskan waktu bersama. Dan kami nggak masalah dengan itu. Seperti sekarang ini.
Aku dan Dhila berdiri di depan kios menunggu uang kembalian. Kemudian berjalan bersama menuju masjid kampus. Kami berbagi pisang goreng yang ku beli tadi sebagai pengganjal perut. Meski hanya sepotong seenggaknya ada sesuatu yang masuk dalam perutku. Daripada nggak ada sama sekali.
“Kok masih belum pulang, Dhil?” tanyaku setelah selesai meminum air mineralku.
“Masih ada kuliah, Aisyah. Males ah kalau harus bolak-balik kampus kosan. Mending nunggu dan sholat di sini saja,” jawabnya.
Aku setuju dengan pemikirannya. Karena aku juga begitu. Kebanyakan temanku, memilih pulang ke kos dan memanfaatkan waktu yang sedikit itu untuk sekedar berbaring mengistirahatkan tubuh. Bukan masalah sih, hanya saja, aku lebih baik menghemat waktu dengan berdiam diri di masjid atau pun perpustakaan.
***
Ketika masuk waktu dhuhur, mulai terdengar pengeras suara dinyalakan. Aku yakin sebentar lagi akan terdengar kumandang adzan. Dan benar saja, sebuah suara menyerukan Allah Maha Besar terdengar begitu lantang dan merdu di indra pendengarku.
Aku pun mulai membayangkan Bilal, seorang budak berkulit hitam dari Habsyah yang pertama kali diperintahkan mengumandangkan adzan oleh Baginda Rasulullah SAW. Mungkin suara ini nggak bisa dibandingkan dengan suara Bilal. Tapi, aku tetap saja merasa kagum.
“Syah, siapa muazinnya ya?” samar ku dengar pertanyaan Dhila.
Dan yah, hatiku pun memiliki pertanyaan yang sama. Bukan sekali – dua kali aku mendengar suara ini mengumandangkan adzan. Tapi, baru kali ini aku bisa melihat muazinnya secara langsung. Berdiri di shaf pertama dengan pengeras suara di tangan kanannya sembari menutup telinga dengan telapak tangan kirinya. Pose yang mulai aku sukai.
Sembari terus menjawab seruan adzan dalam hati, aku menunggu sang muazin menyelesaikan lantunan adzannya. Berharap saat dia menoleh aku bisa melihat seperti apa paras yang memiliki suara selantang dan semerdu itu.
Dan begitulah saat dia berbalik, secara nggak sengaja mata kami bertemu. Hanya sekejap. Bahkan saat aku mengedipkan mataku, dia telah menundukkan pandangannya. Seolah pertemuan mata kami hanya terjadi dalam khayalanku saja. Hingga rasanya membuatku menyesal sudah mengedipkan mata ini.
Baca Juga Cerita Pendek Lainnya, Jodoh untuk Murni
“Syah, dia ganteng banget. Tahu muazinnya seganteng dia, aku nggak keberatan nunggu adzan dhuhur dan ashar di sini. Beneran deh!” ungkap Dhila heboh.
Aku meringis ketika menyadari bahwa aku pun mempunyai keinginan yang sama dengannya. Dan lupakan tentang Bilal sang muazin pertama, aku nggak pernah tahu persis bagaimana suara sang budak yang dimerdekakan oleh Sayyidina Abu Bakar As-Sidiq tersebut. Tapi, andai saja aku bisa merekamnya tadi, aku akan menjadikan rekaman suara adzannya menjadi ringtone atau playlist favoritku.
“Aisyah, kamu nggak kenal dia ya?” Tanya Dhila. Aku nggak tahu sudah berapa kali dia mengajakku berbicara.
“Nggak, Dhil. Kita wudhu saja yuk! Biar bisa ikut sholat berjamaah,” ajakku sembari melangkah ke tempat wudhu wanita.
Dengan terpaksa aku menyingkirkan bayang-bayang wajahnya yang tampan dengan suaranya yang merdu dan lantang itu. Meski aku nggak yakin apakah aku bisa benar-benar mengenyahkan dia dari pikiranku.
***
Sejak saat itu, aku jadi bersemangat menunggu saat sholat di masjid kampus. Berharap bertemu paras tampan itu. Atau seenggaknya mendengar suara lantang dan merdunya mengumandangkan seruan sholat.
Aku mulai khawatir dengan rasa ini. Apakah aku mulai terobsesi? Pada seseorang yang bahkan namanya saja belum aku tahu?
Tapi, dia memang mempesona. Siapa dia?
“Assalamualaikum, Aisy!” sapa Mbak Yuli, salah satu mentorku ketika kegiatan Ramadhan tahun lalu. Dia anak Fakultas Ekonomi juga anak Rohis. Sangat manis.
Setelah menjawab salamnya, kami berbincang di teras masjid sembari menunggu waktu sholat dhuhur. Oh, jangan Tanya mengapa aku menunggu di sini. Meski nggak ada kuliah apa pun yang harus aku ikuti setelah ini. Tapi, aku tetap bertahan di sini.
Bagiku mendengar kumandang adzannya saja sudah lebih dari cukup. Nggak masalah meski aku nggak mengenalnya.
“Han,” Mbak Yuli memanggilnya yang kebetulan melintas di depan kami berbincang setelah sholat dhuhur berjamaah.
Tentu saja itu membuatku sedikit terkejut. Oh nggak. Sebenarnya aku sangat terkejut. Aku nggak mengira saja jika Mbak Yuli akan memanggilnya.
Saat itu dia menoleh meski pandangannya tetap tertunduk. Dia menghampiri Mbak Yuli. Aku sudah grogi nggak karuan. Beberapa kali tanganku berusaha memperbaiki letak jilbabku yang sudah baik-baik saja. Apa lagi yang bisa ku lakukan?
“Aisy, kenalin. Dia adiknya Mbak Yuli. Namanya Bilal Raihan Mahmudi. Dia satu fakultas sama Mbak,” kata Mbak Yuli mengenalkannya.
Aku hanya bisa melongo. Ternyata dia adalah adiknya Mbak Yuli. Aku sangat yakin mukaku sudah merah. Kalau kalian samakan dengan kepiting rebus mungkin nggak akan jauh beda.
“Dan Han, dia namanya Aisyah Zahra. Anak Fakultas Pertanian. Satu angkatan denganmu,” lanjut Mbak Yuli mengenalkan kami berdua.
Aku lihat dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya padaku sembari menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Aku pun melakukan hal yang sama.
“Mbak, saya ke fakultas dulu. Ada kuliah sebentar lagi,” pamitnya yang kini ku tahu namanya. “Dan Aisy, senang berkenalan denganmu,” lanjutnya tanpa menatapku sedikitpun.
Aku hanya meresponnya dengan senyum. Wah mimpi apa aku semalam sampai bisa berkenalan dengannya begini? Dan kenapa tiba-tiba Mbak Yuli mengenalkan kami berdua?
“Dia yang minta dikenalin ke kamu. Aku pikir siapa gadis yang menarik perhatiannya beberapa hari ini. Ternyata si manis Aisyah tho,” jelas Mbak Yuli seolah tahu apa yang ku pikirkan.
Wow, kenyataan apa lagi ini? Aku menarik perhatiannya. Benarkah? Apakah dia juga memiliki perasaan yang sama?
Baca Juga Cerita Pendek Lainnya, Akhir Kisah Ini
Ah, sudahlah. Jika jodoh, kami pasti akan bertemu di janji pernikahan kelak. Saat ini, aku sudah cukup puas setelah tahu namanya. Bilal Raihan Mahmudi. Nama yang bagus. Sebagus paras dan tingkah lakunya. Ku harap begitu.
[End]
With Love
Ceritanya bagus banget Mbak. Teknik showingnya dapet. Tinggal beberapa penulisan saja yg perlu diperbaiki. Eh, kebiasaan ngedit jadi gini deh. Haha. Pokoknya lanjutkan saja. Keep writing. Serta banyak membaca akan membantu.
BalasHapusHehee...
HapusNggak papa dong dicerewetin masalah penulisan. yuni mah malah seneng atuh.
Saya bacanya sambil senyum-senyum. Romantis amat ceritanya. Inget zaman dulu uhuk..uhuk.., suka curi pandang juga.
BalasHapusBacanya pas lagi di rumah aja kan mbak? Kebayang nggak sih baca pas di jalan terus senyum-senyum sendiri begitu. HEhehe
HapusBaca baris demi baris, sambil membayangkan keadaan di sana, saya jadi ikut berbunga-bunga. Haiish..romantika anak muda
BalasHapusBisa ngebayangin kan mbak nurul? Hehee
HapusCie..cie..cie... kebayang tuh ditembak, untung ceritanya fiksi ya. Kalau kejadian sih saya akan makin ngeledek pastinya sambil bilang cie..cie.. lagi. Teruskan mbak, saya suka baca fiksinya
BalasHapusCie,,,cie in Yuni duong sama Afghan. Biar jadi beneran. #eh Hehehee
Hapus