[Cerpen] Romantika Warung Kopi

Romantika Warung Kopi - Sebuah tema kompetisi photography yang ku baca, membuatku terlempar pada kenangan beberapa tahun silam. Ketika aku dan kamu masih terjebak romansa kasih tak terungkap. Dan nyaris memisahkan kita. Hanya dengan mengingatnya saja membuatku tersipu malu. Kenapa? Nanti akan ku ceritakan kalau ada kesempatan.

Romantika Warung Kopi : Koleksi Pribadi / Setting : Hero Coffe

Aku bukan seorang yang menggilai kegiatan photography. Meski terkadang aku bisa menjadi maniak selfie atau banci kamera kalau kata sesembak blogger. Namun, kompetisi ini membuatku ingin mengunjungi tempat itu. Pojok ruangan di salah satu cafee di kota ini. Apalagi jika mengingat kita telah jarang mengunjunginya. Kamu sibuk dengan pekerjaanmu. Dan aku sibuk menjadi ratu di rumahmu. Meski kita selalu menyisihkan waktu untuk romantika kita berdua. (Yang ini rahasia. Tidak semua pembaca sudah menikah. Bahkan penulisnya saja belum.)

Maka ku putuskan untuk mengulang jejak kenangan kita. Setidaknya di satu waktu yang melibatkan caffee itu sebagai saksinya. Aku mengajakmu bertemu di sana. Berharap pojok ruangan itu masih tak tersentuh pengunjung. Dan benar saja. Aku bisa menunggumu di sana.

"Kenapa tiba-tiba ngajakin nongkrong di sini?" tanyamu sesaat setelah kau datang dan meminum kopimu yang telah ku pesankan.

Aku tahu minuman favoritmu. Secangkir espresso. One shoot. Sejak dulu, itulah minuman yang selalu kau pesan jika kita sedang menghabiskan waktu di sini. Bahkan sebelum rencana pernikahanmu dengan wanita lain kala itu.



"Ingin saja mengenang betapa bodohnya aku mau bertemu pemuda yang ku pikir sudah menikah di sini," jawabku sambil melihat sekeliling.

***

Aku memasuki cafe ini. Entah apa yang ada di benakku kala itu. Kau sudah beristri dan aku dengan bodohnya tak bisa menolak ajakanmu untuk bertemu di sini. Padahal aku sudah bertekad akan menjauhimu.

Ah anggap saja aku akan mengucapkan selamat pada pengantin baru, begitu pikirku.

Ku lihat kau telah menunggu di sana. Sendirian. Meja favorit kita berdua. Hatiku mengeluh kala itu. Tak habis pikir dengan cara berpikirmu. Bagaimana mungkin kau bertemu dengan wanita lain setelah pernikahan? Itu pun tanpa bersama dengan istrimu.

"Hey, Rey. Ku pikir kamu bersama istri. Mana nyonya Rey?" tanyaku begitu aku duduk di hadapanmu.

Kau menatapku tajam kala itu. Aku pura-pura tidak perduli. Ku pikir tidak ada yang salah dengan pertanyaanku. Wajar bukan jika bertanya tentang keberadaan istri pada seorang lelaki yang baru saja menikah?

"Kemarin kamu tidak datang?" tanyamu ketus.

Aku meringis. "Maaf, Rey. Aku sedang berlibur bersama sepupuku. Jadi, ya begitulah," jawabku memberi penjelasan.

Kenapa juga aku repot-repot memberimu penjelasan? Aku kan hanya tidak ingin sakit hati. Jawabannya karena kamu menganggapku sahabat. Hanya sebatas itu. Dan menurutmu, seorang sahabat harus datang di saat bahagianya. Andai, aku tak mengharapkanmu jadi suamiku, mungkin aku bisa ikut serta euforia kebahagiaanmu. Namun, fakta berbicara lain.




***

Kau tersenyum geli. Beberapa tahun lalu, hatiku hancur. Kau yang ku cintai sepenuh hati dan ku pikir mencintaiku, ternyata memilih menikahi wanita lain. Fakta itu membuatku ingin menjauh darimu.

"Dan ternyata kau bertemu calon suami. Benar?" tebakmu. Tepat sekali. Lelaki yang awalnya ku pikir sudah menjadi suami orang ternyata belum menikah.

Yah, pada akhirnya aku tahu. Kau tidak menikahi Vita. Kau hanya ingin membantunya agar tidak malu dengan kondisi hamil di luar nikah. Sesaat sebelum pernikahan, pacar Vita yang sempat kabur dari tanggung jawab pun datang. Dia mengaku menyesal telah meninggalkan Vita. Dan mereka pun menikah.

Apa aku bahagia? Sudah pasti, meski aku tak tahu skandal apa yang terjadi ketika pernikahan itu. Aku tidak menghadirinya. Saat itu, aku sibuk meratap dan bertekad mengubah diriku. Lagi pula, siapa yang mau berurusan dengan suami orang. Aku bukan perusak hubungan orang.

"Apa jadinya jika aku tidak datang saat itu, Rey?" tanyaku sembari menatapmu.

Kau menggenggam tanganku. Rasanya hangat sekali. Seketika aku berjanji pada diriku sendiri. Aku tak akan melepaskan genggaman tangan ini. Kau milikku.

"Aku akan cari cara lain untuk menemuimu. Bahkan bisa saja aku langsung datang bersama orang tuaku," jawabmu dan mencium punggung tanganku.

"Memangnya kamu pikir, aku akan bersedia menemuimu? Waktu itu aku berpikir kamu sudah jadi suami orang, Rey," kataku mendebatmu.

"Kamu tidak akan membantah orang tuamu, Ra. Kamu pikir aku bukan calon menantu favorit mereka?" ujarmu geli.

Benar. Bagi orang tuaku, calon potensial untuk menjadi suamiku hanya dirimu. Menurut kedua orang tuaku, kau adalah lelaki yang baik hati. Sangat bertanggung jawab. Dan aku sudah membuktikannya saat ini.

Kita saling melempar senyum. Beberapa tahun lalu, di sini, di pojok ruangan hero cafee, romantika cinta kita di mulai. Romantika warung kopi. Setelah kau menjelaskan semua masalahmu. Perasaanmu. Juga impian terindahmu.

Saat itu, aku seolah tak percaya. Ternyata rasaku tak pernah bertepuk sebelah tangan. Kau memiliki frekuensi yang sama denganku. Betapa bahagianya hatiku kala itu. Tidak ada apa pun di dunia ini yang bisa mengungkapkannya.

Akhirnya, kini aku bisa bersamamu. Menggenggam tanganmu. Bahkan memelukmu. Dan seolah masih terbawa mimpi, kini secangkir teh hangatku kembali. Bersama romansa rumah tangga yang ku idamkan selama ini. Dengan dirimu sebagai kepala keluarganya.



Aku tidak lagi hanya sekedar mimpi indah bagimu. Kita bisa mengusahakan masa depan kita berdua. Masa depan yang dulu ku pikir akan sulit untuk ku raih bersamamu.

Benar kata orang tua. Jika Tuhan sudah berkendak, kamu tidak punya kuasa apa pun untuk menolak.

Yuni Bint Saniro

Blogger wanita yang menyukai dunia menulis sejak SMA. Saat ini masih pemula. Tapi tidak masalah. Kelak ada masanya menjadi profesional. Semangat.

22 Komentar

Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.

  1. Maaf...sebenarnya aku bingung lho bacanya. Hehe...Mungkin krn bacanya sepotong². Jadi lupa yg ini lanjutan yg mana. Trus namanya mirip, antara Rey dan Ra...Duuuh...maafkan aku...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tenang aja Mbak Hani. Yuni juga bingung kok buatnya. HEhehe

      Hapus
  2. Ahh senang sekali happy ending akhirnya setelah sebelumnya suka nyesek baca kisah Rey ini. Namanya jodoh ya mbak emang sulit ditebak, rahasia Tuhan yang juga harus kita usahakan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Khayalan mah bebas ya, dia mau dipasangin sama siapa saja. HEhehee

      Hapus
  3. ahhh, melted baca ceritanya. Bagus mba. Dan selalu saja ada manis di balik pahitnya secangkir kopi yaaa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali. Hitam tak selalu kotor dan pahit tak selalu menyedihkan. setidaknya kopi begitu,.

      Hapus
  4. Ihiiiir happy ending ya..seneng deh akhirnya bsa merit sama orang yg dicintai sejak lama. So sweet...

    BalasHapus
  5. Senang rasanya. Happy ending ya mbak. Life never flate. Harus selalu move on he he he ...

    BalasHapus
  6. Akhirnya jadi juga, hehe. Sempat agak bingung di bagian tengah, kemudian ulang lagi ke atas. Sampai bawah, baru deh mulai paham. Jodoh nggak akan ke mana-mana!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sing penting mah, nangkep aja apa maksud Yuni. Hehehe

      Hapus
  7. Alhamdulillah ... akhirnya. Aku ikut berbunga-bunga, dalam perut seakan banyak kupu-kupu berterbangan hahaha

    BalasHapus
  8. Aku ga ngikutin ceritanya Rey nih, jadi agak lola mencerna alurnya. Selamat ya Rey dan Ra, ending yang bahagia..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuni nggak tega membiarkan Rara terluka terlalu dalam. Apa sih? Hehehe

      Hapus
  9. wah aku belum baca cerita sebelumnya, nanti kepo deh, tapi ikutan seneng kalo happy ending. hihi. memang rencana Tuhan tak ada yang tahu ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau di blog ini, pokoknya semua diatur oleh Yuni. Imajinasi Yuni. Hehehe

      Hapus
  10. Ini kelanjutan cerita Rey sebelumnya ya, kan? Seru banget ngikutin ceritanya. Namanya jodoh ya, gak akan kemana ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah... Semoga tetap di hati dah nama Yuni. Hehehe

      Hapus
  11. Akhirnya... dua hati dengan satu mimpi kembali terpaut lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Teh dan kopi bisa bersanding lagi dalam satu meja makan yang sama. Asyik. HEhehe

      Hapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama

Artikel Terbaru di Yuni Bint Saniro