[Cerbung] Dia Kakak Kelasku : Pesta Perpisahan

Pesta Perpisahan / Kaskus.co.id

Hari ini pesta perpisahan untuk kakak kelas yang baru saja lulus. Kami mengadakannya di sekolah pada siang hari. Karena daerah tempatku tinggal tidak seperti dalam cerita-cerita yang suka mengadakan pesta sekolah di malam hari. Sama sekali belum pernah ada sejarahnya hal itu pernah dilakukan.

Apa yang menarik di pesta itu?

Menurutku tidak ada. Kami menghadirinya dengan masih mengenakan seragam sekolah. Bedanya hanya pada pentas yang sudah dibuat untuk penampilan beberapa persembahan kelas. Namanya juga pesta, tentu saja akan ada pertunjukan yang digelar bukan?

Hanya saja ada yang berbeda di pesta ini. Apakah itu?

Selama aku bersekolah di sini, hingga kini aku berada di kelas XI IPA 2, aku berusaha untuk tidak mencolok. Tidak suka mencampuri urusan teman-teman. Lebih suka menenggelamkan diri di perpustakaan. Pokoknya aku berusaha menyelesaikan sekolahku di sini tanpa terlibat masalah apa pun. Setelah masalah saat Masa Orientasi Siswa (MOS) di awal sekolahku. Masalah apa? Akan aku ceritakan, tapi tidak di part ini. Saat ini, aku hanya ingin menikmati pesta seperti teman-teman pada umumnya. Namun, sepertinya tidak bisa lagi.

Karena, aku merasa aneh. Rasanya, ada banyak sekali pasang mata yang tertuju padaku. Saat ku perhatikan diriku, sepertinya tidak ada yang salah. Seragamku sama persis seperti mereka. Putih - abu-abu. Tidak ada riasan apa pun di wajahku. Aku sudah memastikannya tadi ketika di toilet. Jadi, aku yakin mereka menatapku bukan karena mendadak wajahku seperti badut. Aku tidak pandai merias wajah. Lagi pula perlengkapan seragamku lengkap. Dasi, ikat pinggang dan topi. Meski aku tidak mengenakan topinya dan tidak ada kaitannya dengan itu. Hey, tidak ada yang akan memperhatikan apakah perlengkapanmu lengkap atau tidak saat ini. Lalu apa?


"Eka, kamu tahu kenapa banyak sekali yang melihat ke arahku? Penampilanku nggak aneh kan?" tanyaku pada Eka.

Dia adalah satu-satunya teman dekatku di sekolah. Bukan karena aku pemilih teman. Malah aku akan selalu ramah pada mereka. Aku juga tidak segan membantu mereka jika mereka sedang kesulitan. Hanya saja, aku lebih merasa nyaman bersama Eka. Ku pikir kami sama. Sama-sama berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Tidak seperti teman-teman lainnya.

Cewek itu memindaiku dari kepala hingga kaki dengan mata indahnya. Lalu dia menggelengkan kepala.

"Semua normal kok, Rin. Nggak ada yang salah," jawabnya.

"Terus, kenapa pada ngeliatin aku begitu sih? Kan aku risih jadinya?" tanyaku mencoba duduk di bangku yang yang telah disediakan untuk anak kelas XI IPA 3.

"Udah cuek aja. Bentar lagi kak Yohanes Gamalama itu yang tampil," katanya sembari kembali fokus ke panggung.

Yohanes Gamalama. Dia mantan Ketua OSIS ketika aku mengikuti MOS dulu. Sampai aku menyelesaikan tahun pertamaku di sini. Lalu dia digantikan oleh Agung Prasetyo, teman sekelasku saat ini. Namanya akrab sekali di pendengaranku. Sejak peristiwa MOS dulu. Meski aku tidak mencoba untuk mengakrabkan diri dengannya. Aku malah cenderung menjauh dari radarnya.

***

"Marinka ya?" tanya seorang siswi. Aku tahu dia adalah Kak Nanda, salah satu siswi idola yang sudah mau lulus. Banyak sekali siswa di sekolah ini yang menaruh hati padanya. Juga kakak-kakak kelas yang sudah lulus setahun lalu. Namun, Kak Nanda tidak pernah menanggapi mereka. Dan setahuku, dia tidak berpacaran. Yah, setidaknya memang tidak pernah ada kabar Kak Nanda berpacaran dengan siapa selama aku sekolah di sini.

"Iya kak," jawabku singkat.

Ini hal aneh lainnya. Aku tidak pernah mencoba berurusan dengan kakak kelas. Kecuali Yohanes Gamalama yang selalu berhasil aku hindari. Mengapa? Karena dia adalah siswa populer lain selain Kak Nanda. Aku tidak mau saja, tiba-tiba ada yang menjambak rambutku karena berurusan dengannya. Aku lebih suka menjadi siswi yang dianggap kuper.

"Kamu bisa pindah duduk di bangku depan itu tidak?" tanya Kak Nanda menunjuk salah satu bangku yang berada persis di depan panggung.

Aku bertukar pandang dengan Eka. Tidak mungkin kan aku meninggalkan dia di sini, sementara aku duduk di bangku depan seorang diri. Aku tidak mau.


"Kamu bisa mengajak Eka sekalian kok," lanjut Kak Nanda seolah mengerti keraguanku.

Aku menatap Kak Nanda sejenak. Aku bimbang. Duduk di depan sana seolah aku terlalu antusias dengan pesta perpisahan ini. Padahal aku ingin pesta ini segera berakhir dan aku bisa pulang ke rumah. Rasanya aku sudah merindukan bantal dan ranjangku. Tapi dasar Eka tidak pengertian.

"Kelamaan mikir. Iya Kak, kami ke depan," katanya sembari menggeret lenganku ke bangku yang ditunjuk Kak Nanda.

Lalu semakin banyak pasang mata yang mengamatiku. Aku semakin merasa ngeri sendiri. Sekali lagi ku perhatikan penampilanku. Sekedar meyakinkan diri bahwa penampilanku baik-baik saja. Tidak ada yang salah dan berlebihan. Semua terasa pas.

"Udah. Cuekin aja mereka, Rin. Kamu oke kok," kata Eka. Aku pikir dia mungkin mencoba untuk menenangkanku. "Sekarang kita nikmati saja pesta ini, sebelum siswa-siswa populer itu lulus dan meninggalkan sekolah kita," tambahnya lagi.

Baiklah. Kini aku fokus pada penampilan di panggung. Hitung-hitung sebagai penghibur diri dari penatnya kegiatan belajar di sekolah. Benar saja, setelah itu nama Yohanes Gamalama digaungkan untuk mengisi persembahan. Dan dia naik ke panggung dengan membawa sebuah gitar. Sontak gemuruh sorak sorai dari teman-temanku dan anak kelas X membahana menyambutnya. Dia memang sepopuler itu.

Lalu aku merasakan tatapan matanya, begitu dia telah duduk di satu bangku yang sudah disediakan di atas panggung. Begitu tajam membuat bulu kudukku merinding. Dia telah siap dengan gitarnya dan mikrophone. Namun, dia tetap membisu sambil terus memandang ke arahku. Membuatku gugup dan mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Rasanya aku ingin bumi menenggelamkanku. Karena semua pandangan kini tertuju padaku. Ku pegang tangan Eka.

***

"Dia ngeliatin kamu, Rin," kata Eka.

Aku pun tahu itu.

"Aku akan mempersembahkan lagu ini untukmu Marinka," kata Yohanes Gamalama dari atas panggung sambil terus menatapku.

Dan ya, dia baru saja menyebutkan namaku. Bagus sekali. Seorang siswi kuper mendapatkan persembahan lagu dari kakak kelas paling populer. Meski dia kakak kelasku, tetap saja terasa aneh. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kelanjutan kehidupanku di sekolah ini.

Lalu teralun suara intro dari gitar yang dia mainkan. Melodi lagu yang dipopulerkan oleh Dygta, Jatuh Cinta. Tersanjung. Tentu saja, aku merasakan hal itu. Siapa yang tidak akan merasa begitu jika seorang Gama melantunkan suara merdunya untukmu? Aku melupakan bagaimana respon sekitarku. Aku fokus pada apa yang ku saksikan di panggung. Pada suara merdu yang ku dengar. Dan terlebih saat aku meraba dadaku, aku merasakan gemuruh yang sudah sejak lama terabaikan.



"Nikmati kebaperanmu. Setelah ini dia lulus, kamu nggak akan sering ketemu dia," bisik Eka yang samar-samar masih sempat terdengar.

Anggap saja aku baper. Pada kenyataannya dia, kakak kelasku itu menyanyikan lagu untukku. Entah apakah lagu itu mengintepretasikan segala perasaannya padaku. Aku tidak tahu. Sementara ini, aku tidak mau tahu. Biarkan saja, aku merasa baper untuk sejenak.

Oh Tuhan, Aku Jatuh Cinta

Dia mengakhiri lagunya. Riuh redam suara tepukan dari para penonton. Aku pun tak bisa mengelak dan ikut bertepuk tangan bersama mereka. Penampilannya memang memukau.

"Marinka, maukah kamu menjadi pacarku?" ungkapnya setelah suasana mereda. Langsung. Tanpa intro atau pun basa-basi.

Aku terkejut. Aku tidak menyangka akan mendapat ungkapan cinta di sini. Di pesta perpisahan. Di depan banyak pasang mata. Astaga. Aku yakin hidupku tidak akan sama lagi setelah ini. Kegiatan belajarku di sekolah ini tidak akan tenang lagi. Haruskah aku mengucapkan selamat tinggal pada ketenangan? Apakah aku akan menjadi siswi yang tidak kuper lagi nanti.

Lalu Kak Nanda mendekatiku dengan setangkai mawar sintetis. Dia tersenyum manis sekali padaku. Ah aku hampir saja melupakan fakta bahwa Kak Nanda adalah salah satu dari teman yang sering bersama dengannya. Jadi, ini maksudnya memintaku pindah ke depan sini.

"Kamu boleh mengambil bunga itu jika kamu menerimaku, Rin," lanjutnya lagi.

Aku menoleh pada Eka. Dia menganggukkan kepalanya dan memberiku senyuman seolah mendukungku memiliki hubungan dengan kakak kelasku itu. Hatiku bimbang. Apakah aku harus menerima bunga mawar ini? Aku hanya siswi kuper. Tidak punya banyak teman.

Lalu tiba-tiba, aku jadi teringat bagaimana pertama kali aku mengenal dia. Yohanes Gamalama. Seorang kakak kelas menyebalkan pada awalnya. Hingga membuat jantungku berdegup kencang sekali untuk pertama kalinya. Yah, dia kakak kelasku.

- To Be Continue -

Yuni Bint Saniro

Blogger wanita yang menyukai dunia menulis sejak SMA. Saat ini masih pemula. Tapi tidak masalah. Kelak ada masanya menjadi profesional. Semangat.

24 Komentar

Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.

  1. NgePlay lagu dygta jadi inget masa masa remaja Mba. Lagu ini dulu lumayan terkenal saat saya masih SMA. Btw kebayang rasanya jadi marinka di tembak didepan banyak orang gitu. Jadi penasaran sama kelanjutan ceritanya. Diterima ga ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sabar ya, nanti tetap saya share di sinilah bagaimana kelanjutannya. Hehehe

      Hapus
  2. ooow aku ikut deg-degan, kira-kira bakal diterima ga ya Yohanes sama Marinka. Ahh mbak segera tulis kelanjutannya yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagusnya gimana Mbak Yas? Diterima atau nggak? Hehehe

      Hapus
  3. Eaaaaa...terima gak ya....duh penasaran nih sama Marinka.
    Tak sabar menunggu..To be continuenya mbak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sabar Mbak Helen. Ini cobaan. Apa sih Yun? Hehehe

      Hapus
  4. Kak Nanda, kau bikin Dewi membayangkan senyuman yang manis banget! Seru nih baca cerita yang romansa begini😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bayangin senyum Yuni manis banget nggak Mbak Dewi? Eh... Hehehe

      Hapus
  5. Wah ... Pagi-pagi, hujan sejak dini hari tadi, eh ada cerita romantis rupanya. Passs banget sama suasana di sini. Hmmm ... Kira-kira Marinka bakal menerima perasaan Yohanes nggak, nih?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enaknya diterima aja apa nggak Mbak Melina? Hehehe

      Hapus
  6. Waahhh, jadi ikutan baper Mbak Yuni hahaha. Tokoh utama yang seperti Marinka kayak gini ya yang bikin penasaran. Tapi suka lho sama karakternya. Penasaran nih sama kelanjutannya, ditunggu ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karakter yang kuper, introvert tapi cantik gitu ya Mbak Ulfa? Mbak Ul, bisa bayangin yuni aja nggak yang jadi Marinka? Hehehe

      Hapus
  7. wah jadi kepo nih jadinya diterima apa nggak ya cinta si kakak kelas ini mba? part lanjutannya udah ada belom ni? Udah gak sabar hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah ada sih lanjutannya. Tapi semacam kisah flashback gitu. Belum masuk ke lanjutan ungkapan perasaan Kak Yohanes Gamalama. Hehehe

      Hapus
  8. Aku ikut deg2an yun, serasa aku yang jadj marinka hahaha. Diterima ngga nih jadinya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau mbak yang jadi Marinka, sekalian bayangin dong. Maunya diterima apa nggak gitu. Hehehe

      Hapus
  9. Jadi inget jaman sekolah dulu, hahaha. Dulu kan jamannya sir-siran gitu sama kakak kelas. Kalau aku malah gak cuma sir-siran, tapi nikah, hahaha

    BalasHapus
  10. Waduhh, penasaran kelanjutannya gimaana, tuh? Apa Mariska dikerjain, yaa?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah ini, out of the box pemikirannya. Yuni suka. Hehehe

      Hapus
  11. Ceritanya mirip dengan drama korea Boys Before Flower atau Meteor Garden ya...
    Gadis kurang populer bisa memikat hati pemuda yang populer

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah, mungkin juga terinspirasi dari situ juga. Kan yuni juga hobi nonton drakor. Hehehe

      Hapus
  12. Meskipun sudah emak2 saya lumayan suka cerita school life seperti ini. Biasanya ada sweet2 nya gitu. Lanjutkan, Mbak. Pengen tahu kisah hidup Marinka berikutnya. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau kurang sweet, bisa sambil bayangkan senyum yuni yang manis banget ya Mbak Tatiek. Hehehe

      Hapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama

Artikel Terbaru di Yuni Bint Saniro