Mata kuliah Metabolit Sekunder memang lebih rumit dari yang kubayangkan. Apalagi sejak SMA, aku nggak pernah menyukai pelajaran Kimia. Struktur atom dan sebagainya benar-benar sesuatu yang nggak mudah untuk dimengerti.
Bu Juhariyah memberi kami tugas menganalisa sebuah artikel yang berkaitan dengan kandungan metabolit sekunder pada tanaman. Secara berkelompok, kami mengerjakannya di depan Fakultas Pertanian. Karena disanalah jaringan wifi kampus terbaik bisa diakses.
Aku bersama dengan dua rekan mahasiswa lainnya. Defan dan Keni. Kali ini kami menganalisa potensi senyawa minyak sereh wangi sebagai agen bakteri.
“Oh jadi yang lebih berpotensi mengatasi kontaminasi bakteri adalah minyak atsiri dari Cymbopogon nardus L. ya,” simpul Keni.
“Heleh ribet. Bilang aja sereh wangi. Beres. Orang awam lebih paham,” protes Defan gemas yang hanya kutanggapi dengan senyum.
Aku tahu saja kedua orang ini jarang akur jika bersama. Coba saja kalau mereka nggak ada di dekat satu sama lain, pasti sama-sama mencari. Rasa yang terbalut gengsi begitulah.
Tapi, bagus juga begitu. Jadi, mereka terjaga dari hal-hal yang nggak diinginkan. Berdua-duaan dengan yang bukan mahrom atau pasangan halal. Membayangkannya saja membuatku bergidik ngeri. Yah aku tahu sih, mereka juga pasti bisa menjaga diri.
“Yah, ini ‘kan kita nggak lagi ngomong sama orang awam, Def. Kita lagi di kampus. Apa yang kamu harapkan?” Keni menanggapi protes Defan.
Baru saja Defan ingin menanggapi, aku keburu menginstrupsi, “sudah,, sudah,, tugas kita kelar. Sebentar lagi adzan dhuhur, aku mau ke masjid. Kalian mau nungguin dimana?” tanyaku.
“Di kantin aja ya, Def. Aku lapar,” ajak Keni dengan nada sedikit manja. Tapi dia selalu nggak mau dibilang begitu.
“Makan aja sendiri!” jawab Defan ketus.
Aku tersenyum sekali lagi. Meski dengan jawaban seketus itu, aku yakin Defan akan tetap mengikuti Keni ke kantin. Dia mana tega meninggalkan si cece sendirian.
Ah, biarlah. Aku punya urusan sendiri. Tapi, tetap saja aku harus mengingatkan, “Jangan mendep-mendep di tempat sepi ya! Bahaya!”
“Ih Aisy, kayak kita mau ngapain aja,” protes Keni nggak terima dengan peringatanku.
“Ya bagus kalau kalian nggak ngapa-ngapain. ‘Kan aku cuma mengingatkan Keni sayang,” ujarku dengan lembut.
Defan telah selesai berkemas. Dia sudah menyandang tas ransel di punggungnya. “Buruan Ken. Katanya lapar. Kamu rese kalau lagi kelaparan,” burunya.
Kami berpisah di depan Fakultas. Mereka berdua berjalan ke arah kantin kampus sedangkan aku ke arah masjid. Di depan laboratorium jurusan Kelautan, aku bertemu dengan Dhila yang juga akan ke masjid. Jadi, kami melangkah bersama.
***
Kali ini Dhila tanpil mempesona dengan dress polos berwarna peach. Dia memang terlihat menawan dengan kepolosan. Meski, dia sedikit ceriwis kalau bersamaku. Tapi, dia juga bisa anggun sekali di hadapan orang lain.
Di depan masjid, kami berdua berpapasan dengan Raihan. Yah, aku sudah mengenalnya. Dia adalah sosok yang sama dengan sang muadzin masjid kampus yang tempo hari membuat jantungku berdegup lebih kencang. Orang yang sama yang membuatku terpesona di detik mata ini menangkap siluet wajahnya.
Namanya sungguh Bilal Raihan Mahmudi, seperti yang diperkenalkan Mbak Yuli padaku tempo hari. Mungkin kedua orang tuanya berharap dia bisa seperti Bilal kelak. Dan saat inipun sudah terbukti jika nama adalah sebuah doa. Dia menjadi muadzin masjid kampus.
Dia masih saja terlihat mempesona. Ah, sadarlah Aisy, kamu nggak boleh terlalu lama memandanginya. Buru-buru ku tundukkan pandanganku. Seperti dia yang nggak ingin memandangku atau teman-teman lawan jenisnya yang lain.
Sayangnya, dia orang yang sama yang membuat sahabatku juga merasa tertarik. Seketika aku merasa kecil. Apalah aku dibanding dengan Dhila yang begitu manis.
“Aisy, dia mas-mas yang biasa adzan di masjid ‘kan ya? Makin mempesona aja dia,” puji Dhila.
“Assalamualaikum,” sapa Raihan berhenti sejenak di dekat kami berdiri.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh,” balasku dan Dhila bersamaan.
Jangan berharap dia akan tetap berdiri di sana dan mengajak kami mengobrol. Atau minimal bertanya kabar dan berkenalan dengan Dhila yang ku rasa belum dia kenal. Nggak sama sekali. Kenyataannya, setelah salam terjawab, dia meneruskan langkahnya menuju masjid. Bahkan tanpa menoleh pada kami sedikit pun.
“Aisy, dia nyapa kita. Kamu kenal?” kata Dhila mulai heboh.
Ingin rasanya aku bilang bahwa aku sudah dikenalkan dengannya. Sedikit berbangga hati bahwa aku telah mendahului Dhila. Tapi, aku yakin sahabatku ini akan lebih heboh lagi. Jadi, biarlah ku simpan sendiri perkenalan itu.
“Menyapa orang nggak harus nunggu kita kenal dengan orang itu lagi, Dhil. Udah ah, mangap aja kamu. Ntar kemasukan laler, baru tahu,” jawabku sembari menarik tangannya menuju tempat jamaah wanita.
Sayangnya Dhila adalah seorang yang pantang menyerah. Dia terus saja merecokiku. Apalagi ketika selesai sholat dan mau kembali ke Fakultas Pertanian kami berpapasan dan lagi-lagi Raihan menyapa kami dengan salam.
“Kamu pasti sudah kenal dia ‘kan Aisy? Kita papasan sekali lagi dan dia nggak lupa mengucap salam. Jadi, siapa namanya? Fakultas apa? Dia senior kita ya?” Dhila memberondongku dengan berbagai pertanyaan.
“Apa sih Dhil?”
Di persimpangan perpustakaan, kami bertemu Mbak Yuli. Dhila yang masih ingin menanyaiku lebih lanjut terpaksa berhenti melihat mentor kami mendekat.
Dan wajah itu selalu terlihat teduh dan menenangkan. Sungguh beruntung seorang yang menjadi adik iparnya kelak. Dia nggak hanya mendapat kakak perempuan yang baik hati. Tapi sekaligus mendapatkan mentor yang akan mengajarinya banyak hal. Andai saja orang itu adalah aku.
“Assalamualaikum, Mbak Yul. Baru mau ke masjid ya?” tanyaku pada Mbak Yuli.
“Iya Aisy. Cuma mau ketemu Raihan aja. Mbak lagi libur sholat,” jawab Mbak Yuli. “Aisy ketemu Raihan nggak di masjid?” lanjutnya.
Dhila hanya diam saja dan memperhatikan interaksi kami. Mungkin dia juga penasaran siapa yang sedang kami bahas. Dia belum tahu saja siapa yang sedang kami bicarakan.
“Iya. Tapi sepertinya dia sudah kembali ke jurusannya deh, Mbak. Barusan kami papasan,” jawabku.
Lalu Mbak Yuli meninggalkan kami setelah mengucapkan salam. Kini Dhila menatapku tajam. Mungkin dia bingung siapa Raihan yang kami bicarakan. Secara, kami jarang membiacarakan kaum adam.
***
“Siapa Raihan, Aisy?” tanyanya. Tuh kan.
Aku tersenyum sembari meneruskan perjalanan ke Fakultas Pertanian. “Raihan itu yang tadi papasan sama kita. ‘Kan aku tadi bilang begitu,” jawabku enteng.
Dhila masih sibuk mencerna sebelum, “Mas-mas yang adzan itu namanya Raihan. Jadi, kamu udah kenal? Kok nggak kenalin ke aku tadi?” protes Dhila.
“Nggak mau tahu. Pokoknya besok-besok kalau kita ketemu Mas Raihan lagi, kamu harus kenalin aku sama dia,” tuntut Dhila.
Lagi-lagi aku hanya melempar senyum pada Dhila. Aku nggak bisa berjanji apakah akan punya kesempatan mengobrol banyak dengan Raihan lain kali. Kalau pun bertemu, dia pasti hanya akan mengucapkan salam lalu melanjutkan langkahnya. Tanpa keinginan berhenti sejenak untuk bertanya kabar atau apapun.
Aku jadi nggak yakin, apa dia benar-benar minta dikenalkan padaku? Kalaupun iya, bisa saja itu hanya sebatas ingin menambah saudara. Bukan seperti yang kubayangkan. Raihan menyukaiku misalnya.
Kemudian aku berkumpul kembali dengan Defan dan Keni. Sementara Dhila kembali ke laboratorium jurusan Kelautan untuk melanjutkan projeknya yang tadi ditinggal untuk sholat.
“Kalian nggak mampir kemana-mana lagi ‘kan?” tanyaku pada Defan dan Keni.
“Bisa mampir kemana emang? Kamu nggak tahu ya, si Keni kalau makan udah ngalahin putri keraton. Lamanya minta ampun,” keluh Defan.
Sang putri keraton hanya bisa manyun dan buru-buru menggandengku ke dalam kelas kami. Sebentar lagi mata kuliahnya Pak Manaf, Mikrobiologi.
Aku suka berteman dengan Defan dan Keni. Meski mereka non muslim, mereka selalu bisa menghargai teman yang berbeda keyakinan dengan mereka. Tak jarang, mereka juga akan mengingatkanku untuk mendahulukan ibadah meski tugas kelompok yang kami kerjakan jauh dari kata selesai. Ah indahnya perpedaan dan tenggang rasa.
***
Sebenarnya, cerita ini berencana akan dilanjutkan. Tapi untuk sementara, biarkan berakhir di sini saja ya.
With Love
Bu Juhariyah memberi kami tugas menganalisa sebuah artikel yang berkaitan dengan kandungan metabolit sekunder pada tanaman. Secara berkelompok, kami mengerjakannya di depan Fakultas Pertanian. Karena disanalah jaringan wifi kampus terbaik bisa diakses.
Aku bersama dengan dua rekan mahasiswa lainnya. Defan dan Keni. Kali ini kami menganalisa potensi senyawa minyak sereh wangi sebagai agen bakteri.
“Oh jadi yang lebih berpotensi mengatasi kontaminasi bakteri adalah minyak atsiri dari Cymbopogon nardus L. ya,” simpul Keni.
“Heleh ribet. Bilang aja sereh wangi. Beres. Orang awam lebih paham,” protes Defan gemas yang hanya kutanggapi dengan senyum.
Aku tahu saja kedua orang ini jarang akur jika bersama. Coba saja kalau mereka nggak ada di dekat satu sama lain, pasti sama-sama mencari. Rasa yang terbalut gengsi begitulah.
Tapi, bagus juga begitu. Jadi, mereka terjaga dari hal-hal yang nggak diinginkan. Berdua-duaan dengan yang bukan mahrom atau pasangan halal. Membayangkannya saja membuatku bergidik ngeri. Yah aku tahu sih, mereka juga pasti bisa menjaga diri.
“Yah, ini ‘kan kita nggak lagi ngomong sama orang awam, Def. Kita lagi di kampus. Apa yang kamu harapkan?” Keni menanggapi protes Defan.
Baru saja Defan ingin menanggapi, aku keburu menginstrupsi, “sudah,, sudah,, tugas kita kelar. Sebentar lagi adzan dhuhur, aku mau ke masjid. Kalian mau nungguin dimana?” tanyaku.
“Di kantin aja ya, Def. Aku lapar,” ajak Keni dengan nada sedikit manja. Tapi dia selalu nggak mau dibilang begitu.
“Makan aja sendiri!” jawab Defan ketus.
Aku tersenyum sekali lagi. Meski dengan jawaban seketus itu, aku yakin Defan akan tetap mengikuti Keni ke kantin. Dia mana tega meninggalkan si cece sendirian.
Ah, biarlah. Aku punya urusan sendiri. Tapi, tetap saja aku harus mengingatkan, “Jangan mendep-mendep di tempat sepi ya! Bahaya!”
“Ih Aisy, kayak kita mau ngapain aja,” protes Keni nggak terima dengan peringatanku.
“Ya bagus kalau kalian nggak ngapa-ngapain. ‘Kan aku cuma mengingatkan Keni sayang,” ujarku dengan lembut.
Defan telah selesai berkemas. Dia sudah menyandang tas ransel di punggungnya. “Buruan Ken. Katanya lapar. Kamu rese kalau lagi kelaparan,” burunya.
Kami berpisah di depan Fakultas. Mereka berdua berjalan ke arah kantin kampus sedangkan aku ke arah masjid. Di depan laboratorium jurusan Kelautan, aku bertemu dengan Dhila yang juga akan ke masjid. Jadi, kami melangkah bersama.
***
Kali ini Dhila tanpil mempesona dengan dress polos berwarna peach. Dia memang terlihat menawan dengan kepolosan. Meski, dia sedikit ceriwis kalau bersamaku. Tapi, dia juga bisa anggun sekali di hadapan orang lain.
Di depan masjid, kami berdua berpapasan dengan Raihan. Yah, aku sudah mengenalnya. Dia adalah sosok yang sama dengan sang muadzin masjid kampus yang tempo hari membuat jantungku berdegup lebih kencang. Orang yang sama yang membuatku terpesona di detik mata ini menangkap siluet wajahnya.
Baca dulu Namanya Bilal Raihan Mahmudi
Namanya sungguh Bilal Raihan Mahmudi, seperti yang diperkenalkan Mbak Yuli padaku tempo hari. Mungkin kedua orang tuanya berharap dia bisa seperti Bilal kelak. Dan saat inipun sudah terbukti jika nama adalah sebuah doa. Dia menjadi muadzin masjid kampus.
Dia masih saja terlihat mempesona. Ah, sadarlah Aisy, kamu nggak boleh terlalu lama memandanginya. Buru-buru ku tundukkan pandanganku. Seperti dia yang nggak ingin memandangku atau teman-teman lawan jenisnya yang lain.
Sayangnya, dia orang yang sama yang membuat sahabatku juga merasa tertarik. Seketika aku merasa kecil. Apalah aku dibanding dengan Dhila yang begitu manis.
“Aisy, dia mas-mas yang biasa adzan di masjid ‘kan ya? Makin mempesona aja dia,” puji Dhila.
Aku tahu, Dhil. Asal kamu tahu, aku juga terpesona padanya.
Designed by freepik.com |
“Assalamualaikum,” sapa Raihan berhenti sejenak di dekat kami berdiri.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarokatuh,” balasku dan Dhila bersamaan.
Jangan berharap dia akan tetap berdiri di sana dan mengajak kami mengobrol. Atau minimal bertanya kabar dan berkenalan dengan Dhila yang ku rasa belum dia kenal. Nggak sama sekali. Kenyataannya, setelah salam terjawab, dia meneruskan langkahnya menuju masjid. Bahkan tanpa menoleh pada kami sedikit pun.
“Aisy, dia nyapa kita. Kamu kenal?” kata Dhila mulai heboh.
Ingin rasanya aku bilang bahwa aku sudah dikenalkan dengannya. Sedikit berbangga hati bahwa aku telah mendahului Dhila. Tapi, aku yakin sahabatku ini akan lebih heboh lagi. Jadi, biarlah ku simpan sendiri perkenalan itu.
“Menyapa orang nggak harus nunggu kita kenal dengan orang itu lagi, Dhil. Udah ah, mangap aja kamu. Ntar kemasukan laler, baru tahu,” jawabku sembari menarik tangannya menuju tempat jamaah wanita.
Sayangnya Dhila adalah seorang yang pantang menyerah. Dia terus saja merecokiku. Apalagi ketika selesai sholat dan mau kembali ke Fakultas Pertanian kami berpapasan dan lagi-lagi Raihan menyapa kami dengan salam.
“Kamu pasti sudah kenal dia ‘kan Aisy? Kita papasan sekali lagi dan dia nggak lupa mengucap salam. Jadi, siapa namanya? Fakultas apa? Dia senior kita ya?” Dhila memberondongku dengan berbagai pertanyaan.
“Apa sih Dhil?”
Di persimpangan perpustakaan, kami bertemu Mbak Yuli. Dhila yang masih ingin menanyaiku lebih lanjut terpaksa berhenti melihat mentor kami mendekat.
Dan wajah itu selalu terlihat teduh dan menenangkan. Sungguh beruntung seorang yang menjadi adik iparnya kelak. Dia nggak hanya mendapat kakak perempuan yang baik hati. Tapi sekaligus mendapatkan mentor yang akan mengajarinya banyak hal. Andai saja orang itu adalah aku.
Ah, ternyata aku nggak jauh beda sama Dhila. Buktinya aku diam-diam mengharapkan Raihan juga. Dasar muslimah labil. Hehehe… Aku merasa geli dengan pemikiranku sendiri.
“Assalamualaikum, Mbak Yul. Baru mau ke masjid ya?” tanyaku pada Mbak Yuli.
“Iya Aisy. Cuma mau ketemu Raihan aja. Mbak lagi libur sholat,” jawab Mbak Yuli. “Aisy ketemu Raihan nggak di masjid?” lanjutnya.
Dhila hanya diam saja dan memperhatikan interaksi kami. Mungkin dia juga penasaran siapa yang sedang kami bahas. Dia belum tahu saja siapa yang sedang kami bicarakan.
“Iya. Tapi sepertinya dia sudah kembali ke jurusannya deh, Mbak. Barusan kami papasan,” jawabku.
Lalu Mbak Yuli meninggalkan kami setelah mengucapkan salam. Kini Dhila menatapku tajam. Mungkin dia bingung siapa Raihan yang kami bicarakan. Secara, kami jarang membiacarakan kaum adam.
***
“Siapa Raihan, Aisy?” tanyanya. Tuh kan.
Aku tersenyum sembari meneruskan perjalanan ke Fakultas Pertanian. “Raihan itu yang tadi papasan sama kita. ‘Kan aku tadi bilang begitu,” jawabku enteng.
Dhila masih sibuk mencerna sebelum, “Mas-mas yang adzan itu namanya Raihan. Jadi, kamu udah kenal? Kok nggak kenalin ke aku tadi?” protes Dhila.
Andai saja bisa mengenalkan dia padamu dan mengobrol dengannya, aku pasti lebih memilih mengobrolkan hal lain, Dhila. Tentang perasaan kami misalnya. Atau perasaanku saja. Ah, andai saja perasaan seseorang bisa dengan mudah kita baca.
“Nggak mau tahu. Pokoknya besok-besok kalau kita ketemu Mas Raihan lagi, kamu harus kenalin aku sama dia,” tuntut Dhila.
Lagi-lagi aku hanya melempar senyum pada Dhila. Aku nggak bisa berjanji apakah akan punya kesempatan mengobrol banyak dengan Raihan lain kali. Kalau pun bertemu, dia pasti hanya akan mengucapkan salam lalu melanjutkan langkahnya. Tanpa keinginan berhenti sejenak untuk bertanya kabar atau apapun.
Aku jadi nggak yakin, apa dia benar-benar minta dikenalkan padaku? Kalaupun iya, bisa saja itu hanya sebatas ingin menambah saudara. Bukan seperti yang kubayangkan. Raihan menyukaiku misalnya.
Andaikan memang seperti itu, memangnya aku mau apa? Menjalin hubungan nggak pasti dengan berpacaran. Akan lebih baik jika dihalalkan sekalian. Duh, aku mikir apa lagi.
Kemudian aku berkumpul kembali dengan Defan dan Keni. Sementara Dhila kembali ke laboratorium jurusan Kelautan untuk melanjutkan projeknya yang tadi ditinggal untuk sholat.
“Kalian nggak mampir kemana-mana lagi ‘kan?” tanyaku pada Defan dan Keni.
“Bisa mampir kemana emang? Kamu nggak tahu ya, si Keni kalau makan udah ngalahin putri keraton. Lamanya minta ampun,” keluh Defan.
Sang putri keraton hanya bisa manyun dan buru-buru menggandengku ke dalam kelas kami. Sebentar lagi mata kuliahnya Pak Manaf, Mikrobiologi.
Aku suka berteman dengan Defan dan Keni. Meski mereka non muslim, mereka selalu bisa menghargai teman yang berbeda keyakinan dengan mereka. Tak jarang, mereka juga akan mengingatkanku untuk mendahulukan ibadah meski tugas kelompok yang kami kerjakan jauh dari kata selesai. Ah indahnya perpedaan dan tenggang rasa.
***
Sebenarnya, cerita ini berencana akan dilanjutkan. Tapi untuk sementara, biarkan berakhir di sini saja ya.
With Love
Assalamualaikum... Lanjutannya kpn mbak Yuni...??!
BalasHapusAku baca ini kok senyum-senyum sendiri ya hehe. Tetiba jadi inget jaman kuliah dulu, pernah ngefans sama laki-laki yg suka jadi imam solat berjamaah di kampus n sekarang Alhamdulilah udah jadi suami hehe. Jadi pengen nulis ceritanya di blog, pas jaman kuliah, taaruf, sm nikah, seru kayanya hehe. Makasih Mbak Yuni sudah membawaku bernostalgia :)
BalasHapusAisy, hati2 ya kalau memelihara perasaan mendamba. Klo orang jawa bilang,ati2 keblinger hehehe coba deh keni di lihatin Raihan juga,biar bahan berantem sama defan lebih banyak hahaha
BalasHapusWih jadi penasaran nih sama endingnya, suka sama cerita fiksi yang tokohnya cool kayak gini. Bikin baper n penasaran.
BalasHapusah serunya jika semua damai dan saling menghargai satu sama lain ya. tapi saya sama temen2 non muslim juga begitu kok. Alhamdulillah.
BalasHapusCeritanya mengingatkanku pada masa-masa kuliah dan saat mulai ikutan tarbiyah di akhir-akhir masa studi tersebut. Ceritanya manis, semanis yang bikin, Mba Yuni...
BalasHapuswah, jangan berakhir dong, kan aku penasaran dengan Raihan..Tapi memang daripada pacaran lebih baik dihalalkan sekalian. Keren selalu mbak Yuni! Suka sekali!
BalasHapuslanjutin dong mbak, apakah Aisy akan bisa ngobrol dengan Rayhan? Apakah Dhila jadi kenalan dengan Rayhan? Aaah... jadi penasaran deh, ikut deg deg an, hehe
BalasHapusAwalnya kupikir ini kisah apa yah? Ternyata fiksi.
BalasHapusKeren mbak, dapat saja feelnya, aku suka di bagian Dhila yang centil tapi alim, ingat temanku zaman kuliah.
Zaman kuliah memang paling banyak story, ya! Perjuangan menemukan jati diri, jalan menuju cita-cita dan mendapatkan separuh hati (yang lain) hehe...
BalasHapusOke lanjut aisy! Salam buat Devan dan Keni.
Ceritanya mengingatkan masa-masa kuliah dulu. Keren kak. Feelnya dapet..
BalasHapus