Mimpi Terindah


Sumber : pixabay.com editted by canva




Secangkir teh hangat di pagi hari. Itulah yang selalu menjadi favoritmu. Berbeda denganku yang lebih memilih kopi untuk teman sarapanku. Namun biarlah. Cerita ini jelas bukan tentang apa yang menjadi kesukaanmu saja. Meski berbeda denganku, tetapi akan terlihat saling melengkapi. Seperti kita yang pasti akan melengkapi satu sama lain nantinya. Begitu yang ku pikirkan. Sejak dulu. Sejak aku melihatmu pertama kali sebagai salah satu tim di kantor tempat kita bekerja. Yah, cerita ini adalah tentang mimpi terindah milikku. Tentang kau. Mungkin juga tentang kita.

Aku selalu bersedia menjadi tameng atas setiap kesalahan kerja yang kau lakukan. Bak pahlawan kesiangan. Lalu, memperbaikinya dan mulai mengarahkanmu agar melakukan pekerjaan lebih baik lagi. Hal yang wajar menurutku karena pemimpin yang baik akan selalu berbuat begitu. Kemudian menjadi tidak wajar ketika aku melakukannya, karena itu adalah dirimu. Pada tim lain, aku pasti hanya akan berjanji untuk memperbaiki kinerja mereka di depan bos. Tanpa repot menutupi apa yang mereka lakukan. Sungguh, aku tidak rela jika kau menjadi bulan-bulanan para petinggi kantor.

“Kau menyukai Rara ya, Rey?” tak terhitung pertanyaan yang muncul di mulut atasanku yang selalu ku elak. Katakan saja aku pengecut. Tapi aku belum siap mengumbar semua detail tentang mimpi terindahku pada siapa pun. Tidak juga kepadamu.

Namun, aku akan selalu menyempatkan diri untuk mengantarmu pulang. Meski katamu ada begitu banyak taksi yang bisa melakukannya, Tapi mana aku sanggup melihatmu pulang sendirian. Terlebih ketika pekerjaan memaksamu lembur sampai larut hingga aku akan selalu mengatakan bahwa taksi tidak lagi aman untuk seorang gadis. Yah, kalian benar. Itu hanya alasanku saja. Sebenarnya yang terjadi adalah aku tidak akan bisa tidur dengan nyenyak jika tidak bisa memastikan sendiri kau selamat sampai di rumah.

“Tapi rumahmu berbeda arah dengan jalan rumahku. Ini sudah larut, Rey, tidakkah kau ingin segera istirahat?” begitu yang selalu kau tanyakan sampai mungkin kau pun merasa bosan bertanya dengan jawabanku yang selalu sama.

“Tak mengapa. Pria punya pertahanan lebih baik mengatasi rasa lelahnya. Kami telah diciptakan untuk menjadi pemimpin yang akrab dengan rasa lelah. Jadi bukan masalah jika lelahku bertambah hanya untuk mengantarmu, Ra.” Ah andai kau tau, Ra. Betapa aku ingin menjadi imam di kehidupanmu. Kau mungkin tidak menyadari kalau kau telah menjadi mimpi terindahku yang selalu ku harapkan menjadi sesuatu yang nyata. Tapi tak masalah. Kelak, jika telah tiba saatnya, maka aku tidak akan membiarkanmu lepas dari kehidupanku. Aku akan menjadikanmu milikku. Hanya untukku.

***

Kenyataannya, saat aku mulai siap menata asa, apa yang ku temukan benar-benar membuatku tak bisa berkutik. Aku syok. Ternyata selama ini ayah dan ibuku telah memutuskan sesuatu yang besar. Sesuatu yang menyangkut hidupku. Bahkan tanpa meminta persetujuan dariku terlebih dahulu. Padahal mereka tahu, aku yang akan menjalani kehidupanku sendiri. Bukan mereka. Sayangnya lagi-lagi aku menjadi sosok pengecut. Bagaimana mungkin aku sanggup bersanding denganmu jika aku sepengecut ini?

“Rey, Nana gadis yang baik. Bukankah kamu sudah berteman dengannya sejak kecil. Tidak akan sulit bagimu membiasakan diri menjadi suaminya,” kata ibu mulai membujukku. Dan aku lemah dengan bujukan beliau.

Yah, perjodohan itu meruntuhkan segala asaku. Kehadiran Nana, sekalipun dia adalah temanku, memporak-porandakan mimpi terindah yang ku miliki. Namun, Ra. Saat ini aku merasa menjadi lelaki paling pengecut yang tidak pantas untukmu. Aku tidak sanggup menolak keinginan Ayah dan Ibuku. Aku akui, kau memang sangat berarti bagiku. Melebihi apa pun. Sayangnya, mungkin aku bukan lelaki yang tepat untuk menjadi imam dalam kehidupanmu. Kau berhak mendapat lelaki yang lebih baik dariku, Ra. Lelaki yang lebih berani mengambil keputusan untuk kehidupannya sendiri.

Maka saat malam itu aku kembali mengantarmu pulang dan kau bertanya padaku, “Rey, kau tidak keberatan dengan ejekan teman-teman?”

Sungguh, Ra. Aku bukannya tidak menyadari segala ejekan teman-teman pada kita. Mereka yang begitu ingin kita menjadi pasangan. Aku tahu semua itu. Andai dalam situasi yang normal tanpa perjodohan itu, aku mungkin akan sangat bahagia jika itu bisa menjadi kenyataan. Hanya kau yang selalu mengisi setiap bunga tidurku. Namun, aku menyadari satu hal. Hidupku bukan milikku lagi.

Maka ku keraskan hatiku, “Biarkan saja, Ra. Mereka tidak akan berhenti jika pun kita ngotot ingin mereka berhenti.” Aku tahu kau bingung. Raut wajahmu menunjukkannya juga pertanyaanmu. Mungkin aku sedikit merasa percaya diri bahwa kau pun memiliki perasaan yang sama denganku.

Hingga aku menjelaskan, “Mereka ‘kan hanya ingin semua berjalan dengan kemauan mereka, Ra. Tapi mereka nggak akan pernah tahu apa yang kita rasakan. Mana pernah mereka mau mengerti tentang persahabatan. Kamu adalah sahabat terbaik bagiku, Ra. Sudahkah aku mengatakan ini padamu?” Saat itu ku lihat wajah sendumu sekilas. Aku merutuki sikapku dalam hati. Namun aku pun tahu, kau selalu pandai menyembunyikan sesuatu.

Selanjutnya senyum riangmu kembali menghiasi wajah cantikmu. Menutup harapan terakhir yang ku miliki. Bahkan ketika aku menceritakan kebohongan mengenai aku yang berhasil melamar gadis yang ku cintai pun, kau mempercayainya. Kau memberiku ucapan selamat berharap semua berjalan lancar sampai hari pernikahan. Hal terbodoh yang aku lakukan adalah aku masih mengharap jika kau memberi respon lain. Bagaimana mungkin aku melupakan satu hal? Kau adalah gadis yang akan selalu menunggu. Salahku yang tidak lebih dulu mengungkapkan segalanya padamu.

***

Sejak saat itu kau berubah. Hubungan kita tidak lagi sama. Maksudku aku memang masih selalu bisa menjadi pahlawan kesianganmu untuk urusan pekerjaan. Tapi di luar itu. Aku kehilangan kesempatanku mengantarmu pulang ketika kau lembur sampai larut karena kau sudah membawa mobilmu sendiri. Bahkan tidak ada lagi kita yang selalu bersama saat makan siang. Tidak. Aku tidak sedang mengatakan kau mulai menjauh. Rasanya tidak begitu.

Kenyataannya, senyummu masih semanis dulu saat menatapku. Kau masih bersikap sama menyenangkannya sebelum aku mengakui tentang lamaranku pada Nana. Namun, aku yang begitu menyukaimu menyadari satu hal. Dirimu tidak seperti dulu lagi. Meski orang-orang kantor masih merasakan kebersamaan kita, tapi semuanya berbeda. Sayangnya, hanya aku yang bisa merasakannya. Terlebih aku menyadari satu hal. Kau tak lagi menyukai secangkir teh hangatmu.

Kini kau benar-benar menempatkan diriku sebagai sahabat. Aku tahu ini salahku. Aku yang tak pernah berani berterus terang padamu. Aku yang selalu mengelak dari semua prasangka orang tentang perasaanku padamu. Pada akhirnya akulah yang tidak kuasa menolak segala harapan kedua orang tua terkait urusan dengan Nana.

Maafkan aku, Ra. Mungkin benar, aku tidak pantas untukmu. Biarlah, kau hanya akan menjadi mimpi terindahku. Mimpi yang akan ku kubur dalam dasar hati yang terdalam.

[End]


Yuni Bint Saniro

Blogger wanita yang menyukai dunia menulis sejak SMA. Saat ini masih pemula. Tapi tidak masalah. Kelak ada masanya menjadi profesional. Semangat.

22 Komentar

Terima kasih atas kunjungannya, jika anda memiliki saran, kritik maupun pertanyaan silahkan tinggalkan komentar anda.

  1. Hwaa ternyata bener kan mbak, mencintai dalam diam. Ternyata dua-duanya saling mencintai. Jadi nyesek bacanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Cerita mah bisa dibawa kemana saja, semau penulisnya.

      Hapus
  2. Duh nyesek emdingnya mba. Lelaki macam apa itu yang diem aja kayak kebo dicunguk idungnya? Hehehehe tapi dikau sukes membangun karakter Rey ni mba Yuni.. buktinya aku sebel tuh ama dia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bikin orang sebel, kenapa yuni jadi happy banget ya. Hehehe

      Hapus
  3. Hii, pengecutamat sih.
    Saya geregetan deh sama Rey. Kebayang nanti kehidupan rumah tangganya.
    Ah, sudahlah. Memang itu yang diinginkan penulisnya, hehehe...

    BalasHapus
  4. Mb Yuni ini jagoan nulis cerpen. Jadi penasaran ama perasaan Rey selanjutnya. Aku rancu ama kisah Merindukan Pernikahan. Hehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Atau jangan-jangan yuni masih kebayang Rayyan ya. Tapi nggak ah, Rayyan mah mau menggenggam harapannya. Sedangkan Rey yang ini, dia melepas mimpinya. uhuy...

      Hapus
  5. Jadi kejawab ya mba misteri kenapa rey sering nganter pulang, suka ngebelain kalo di kantor ada masalah ternyata karena dijodohin. Huhuhu nyesek ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. uhuy... hehehehe

      Biar tidak ada dusta di antara kita..

      Hapus
  6. Yaelaaaah Rey ternyata kamu begituh ya. Semoga aja Nana ndak kamu telantarin yah, kan kesian klo menikah tapi tidak saling cinta. #halaaah

    BalasHapus
    Balasan
    1. yaelah, biarin ajalah Nana ditelantarin, Mbak. Suruh siapa juga ganggu hubungan orang. Hehehe

      Hapus
  7. Oww Rey cemen banget yaa jadi cowok. Padahal Raranya juga punya perasaan yg sama tuh. Hmmm coba jujur aja dari away yaa mungkin bakalan lain ceritanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau jujur dari awal nggak akan ada sehangat secangkir teh dan mimpi terindah dong. Hehehe

      Hapus
  8. Aku dua kali ketemu laki model begitu. Maless, ahh
    Tapi bukan karena pengecut, cuma terlalu pede kalo aku nggak ada kandidat lain. 😃

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gila, tenggelamkan saja laki macam begitu, Mbak. Titipin sama Bu Susi. Hehehe

      Hapus
  9. Nyeseeek... saling mencintai dalam diam. Lalu menyadari setelah sekian lama bersama pasangan masing-masing. Tak sengaja bertemu dan terbuka semua fakta. Huaaa...nangisss

    BalasHapus
  10. hehehe....memang nyesek dlm kepura- puraan ya. & hare gene masih ada perjodohan?...
    menyedihkan

    BalasHapus
  11. Ihhh ... Aku pengen nimpukin Rey, nih. Laki yang nggak laki, ya. Tahu cinta ya ngomong dong, hiyyy ... Malah kebawa emosi nih jadinya.

    Udah, udah ... Jangan deketin Rara lagi. Ntar PHP pula.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Timpukin aja, Mbak. Timpung pake cangkir tehnya Rara. Hehehe

      Hapus
Posting Komentar
Lebih baru Lebih lama

Artikel Terbaru di Yuni Bint Saniro