Kebiasaan Menginang oleh Riedoak - Karya sendiri, CC BY-SA 4.0, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=74001409 |
Kebiasaan Menginang bisa menguatkan gigi. Statement yang secara turun-temurun dipercayai oleh para pelakunya. Sehingga kegiatan ini bisa menghilangkan bau mulut karena gigi berlubang. Pan kalau giginya kuat nggak akan berlubang. Hehehe...
Selain mengenai kesehatan gigi, menginang memiliki sisi lain lho. Apa saja itu?
Mengenal Tradisi Makan Sirih
Tradisi makan sirih (menginang) merupakan warisan budaya Indonesia yang dilakukan dengan mengunyah bahan-bahan bersirih seperti pinang, sirih dan bahan lainnya. Kebiasaan ini telah berlangsung lama sekali sejak abad 6 Masehi.
Nggak ada keterangan yang pasti mengenai asal-usul kebiasaan ini. Ada cerita yang menyatakan bahwa bersirih berasal dari India, Thailand bahkan Malaysia. Hingga menyebar ke Indonesia.
Adapun bahan untuk menyirih adalah sebagai berikut:
- Sirih
- Pinang
- Kapur dan Tembakau
- Gambir
Bahan untuk Menyirih di en.wikipedia.org |
Sedangkan cara makan sirih dalam kebiasaan menginang adalah sebagai berikut:
- Membungkus pinang, kapur dan gambir dengan daun sirih.
- Lalu kita akan mengunyah gulungan tersebut, Geng.
Sisi Lain Tradisi Makan Sirih
Selain untuk kesehatan gigi, menginang memiliki fungsi atau sisi lain, sebagai berikut:
1. Bahan menginang bisa menjadi hidangan penghormatan untuk tamu.
Biasanya perlengkapan menginang akan diletakkan di carana, wadah yang diberi alas bersulam benang emas. Hal ini merupakan simbol hati yang tulus. Selain itu, menunjukkan sikap hormat juga.
2. Sebagai Undangan Pernikahan.
Ternyata masyarakat Melayu Sumatera menggunakan daun sirih sebagai undangan pernikahan lho. Tolong jangan membayangkan bahwa undangan akan ditulis dalam sehelai daun sirih. Nggak sama sekali ya.
Lalu bagaimana?
Mereka akan membawa sehelai daun sirih saja jika ingin mengundang. Memberikannya pada tetangga atau kerabat yang ingin diundang.
Masih dalam tradisi Melayu, mereka biasa menggunakan sirih untuk acara formal seperti meminang. Hanya saja, mereka harus menyampaikan pengantar terlebih dahulu. Biasanya dengan berbalas kata atau pantun.
Sirih bisa menjadi sarana dalam berbagai ritual atau upacara adat dan keagamaan. Hal ini bisa kita temui di Bali atau India.
Filosofi Menginang
Tahu nggak Geng? Kebiasaan Menginang juga memiliki filosofi sesuai perlengkapan nyirih lho. Diantaranya:
Memiliki makna sifat rendah hati seseorang. Selain itu sirih juga bermakna memberi dan senantiasa memuliakan orang lain.
Bahan ini bermakna keturunan yang baik.
Kedua bahan ini memiliki makna ketabahan hati. Keduanya juga bermakna rela menolong sesama.
Bahan yang terakhir bermakna kesabaran dan keteguhan hati seseorang.
Itulah mengapa masyarakat melayu menjadikannya sebagai sarana tata pergaulan dan tata nilai kemasyarakatan ya. Filosofinya keren banget kan?
Sisi Negatif Menginang
Sejak tadi kita banyak membahas sisi positif dari kebiasaan menginang. Mulai dari merawat dan menguatkan gigi. Hingga fungsi lain dalam budaya, seperti memberi penghormatan untuk tamu, undangan dan sarana upacara adat.
Ternyata kegiatan ini memiliki sisi negatif lho. Apakah itu?
Menginang dapat menimbulkan lesi pada mukosa yang melapisi rongga mulut pada jangka panjang. Menurut Marbun (2013), lesi mukosa mulut yang ditemukan pada orang yang memiliki kebiasaan menyirih di kota Manado adalah Oral Submucous Fibrosis dan Betel Chewer's Mucosa.
Meski Marbun baru menemukan lesi mukosa tahap awal di mulut respondennya. Namun, lama kelamaan lesi ini dapat menyebabkan kesulitan dalam membuka mulut. Atau pada beberapa laman kesehatan, lesi mukosa ini dapat menimbulkan rasa nyeri atau terbakar, kesulitan makan dan minum.
Kesimpulan
Menginang atau menyirih memang bagus untuk menguatkan gigi. Selain itu, kegiatan ini memiliki sisi lain dalam tata pergaulan dan tata kemasyarakatan. Tapi, siapa menyangka jika menginang juga memiliki sisi negatif.
Sehingga bukan hal yang mengherankan jika negara Taiwan, India dan Thailand sedang mendorong masyarakatnya untuk meninggalkan kebiasaan ini.
Di Indonesia pun udah jarang banget menemukan orang makan sirih, mungkin memang sudah pada meninggalkan kebiasan tersebut, kalo pun ada paling hanya segelintir yang masih mau mengunyah sirih pada acara pernikahan saja
BalasHapusNenekku dari pihak Ayah dulu menginang, nyusur ya kalau bhs Jawa. Ada tempolongnya gitu, untuk meludah...wkwkwk...Zaman sekarang msh ada sih di desa. Waktu aku ke Sumba, disuguhin sirih-pinang juga.
BalasHapusTernyata menginang punya sisi negatif yang cukup bikin ngeri, sampai ada negara yang melarang kebiasaan ini. Namun rasanya memang menginang akan ditinggalkan juga sih ya.
BalasHapusWaktu kecil sering lihat mbah-mbah nyirih alias nginang. Keliatannya kok asik banget gitu :D Tapi nggak pernah nyoba sih karena agak-agak ngeri lihat mulut jadi berwarna merah :D
BalasHapuswah aku baru tahu ternyata menginang itu punya makna filosofi mendalam ya mbak
BalasHapustermasuk produk budaya yg harus dilestarikan juga
Waaah menarik banget nih kak filosofinya.
BalasHapusNggak nyangka kalau menginang punya filosofi kehidupan yang begitu luar biasa. Walaupun ada sisi negatifnya dari segi kesehatan
Kalau di daerah ku sepertinya sudah mulai hilang tradisi menginang atau makan sirih, tapi sepertinya daerah lain masih ada ya.
BalasHapusHihihihi... Nginang ya?
BalasHapusMungkin sata ini udah jarang aau nyaris gak menemui ornag nginang ya. Tapi kalau dulu, tetanggaku pada nginang. Biasanya sambik menikmati waktu sore atau siang hari di teras rumah
Sudah lama tidak melihat orang menginang kak. Dulu ibuku pernah sekali terpaksa menginang kata yang meminta, ludah hasil menginang ini untuk obat penyakit kulit. Entah benar atau gak.
BalasHapusOh, ternyata ada sisi negatifnya ya. Mbah-mbahku jaman dulu nginang semua. Emang sih, giginya bagus sampai tua. Cuma emang gak terlalu doyan makan apalagi nyemil. Mungkin karena sudah menikmati aktivitas menginang itu sendiri yang seperti mengunyah. Tapi bisa juga karena susah membuka mulut itu tadi.
BalasHapusTradisi makan sirih ini, saya lupa - lupa ingat dulu waktu kecil suka lihat nenek buyut nginang gini, mulutnya merah - merah
BalasHapusMbah ku masih suka nginang, sampai akhir hayatnya suka nginang. Unik sih sebenarnya tradisi tersebut. Aku kok jadi ingat mbahku ya setelah baca artikel ini hehe
BalasHapusAku jadi ingat saat pertama kali diajari nginang oleh simbah. Saat itu, aku berusia sekitar 5 tahun dan merasa aneh banget saat menginang :D
BalasHapusNenek buyut saya dulu menginang, sampai hafal kalau ke rumahnya melihat proses penyusunan bahan2nya, gigi jadi lebih awet sih hingga sekarang, paling hanya jadi berwarna gitu hehe
BalasHapusNenekku pemakan sirih dan aku tau banget khasiatnya untuk apa. Selain untuk kesehatan gigi dan mulut, menginang juga bagus untuk mengatasi perut kembung. Gitu kata nenekku, kak.
BalasHapusKok jadi kangen suasana di kampung ya nenek bersama teman-temannya kalau ngumpul pasti pada mengunyah sirih. Btw Lesi mukosa itu apa ya? ternyata ada sisi negatifnya juga ya menginang itu.
BalasHapus